Shahih Muslim
Al-Jami' atau biasa di kenal dengan Kitab Shahih Muslim merupakan kitab (buku) koleksi hadis yang disusun oleh Imam Muslim (nama lengkap: Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi) yang hidup antara 202 hingga 261 hijriah. Ia merupakan murid dari Imam Bukhari. kitab ini ada indikasi ditulis pada kurun waktu 235 s/d 255 H / 850-870 M . Hal ini bisa diindikasikan dalam pernyataan Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan (murid Imam Muslim) berkata ; “kami telah merampungkan kajian kitab Shahih Muslim di hadapan Imam Muslim Semdiri pada bulan Ramadhan 257 H.”
Koleksi hadis ini di kalangan muslim Sunni adalah koleksi terbaik kedua setelah Shahih Bukhari. Dari sekitar 300.000 hadis yang ia kumpulkan hanya sekitar 4000 yang telah diteliti selama hidupnya dan dapat diterima keasliannya. hadis-hadis tersebut didapati dari sekitar 220 yang ada dalam shahihnya, yang tidak disebut masih banyak lagi.
Shahih Muslim terbagi menjadi beberapa kitab di mana tiap kitab terdiri dari beberapa bab. Judul bab tersebut menunjukkan fiqih Imam Muslim terhadap hadis-hadis yang termuat di dalamnya. Shahih Bukhari bersama dengan kitab Shahih Muslim disebut sebagai ash-Shahihain (Dua Kitab Shahih rujukan utama). Dalam menyusun kitab Shahihnya, Imam Muslim tidak memberikan nomor. Di kemudian hari ditambahkan nomor pada Shahih Muslim untuk memudahkan perujukan hadis, sebagaimana dikemukakan berikut:
Penomoran al-Alamiyah (5362)
Perujukan hadis pada penomoran al-Alamiyah berdasarkan sanad hadis. Setiap sanad dihitung satu hadis.
Penomoran Abdul Baqi (3033)
Perujukan hadis berdasarkan penomoran yang diberikan oleh Abdul Baqi ketika mentahqiq (memeriksa, mengoreksi, menyunting, menomori hadis) Shahih Muslim. Penomoran dia berdasarkan hadis yang serupa. Ia menghitung setiap hadis yang serupa sebagai satu hadis. Penomoran dia banyak digunakan dalam penulisan kitab, buku, dan artikel keislaman.
- Penulisan: HR Muslim (nomor hadis), maksudnya adalah hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya pada nomor yang disebutkan.
Perbedaan penomoran menjadikan perbedaan perhitungan jumlah hadis dalam Shahih Muslim. Menurut penomoran al-Alamiyah, terdapat 5362 hadis dalam Shahih Muslim. Sedangkan menurut Abdul Baqi, ada 3033 hadis. Perbedaan ini timbul karena penomoran al-Alamiyah menghitung setiap sanad hadis sebagai satu hadis; sedangkan penomoran Abdul Baqi menghitung setiap hadis yang serupa sebagai satu hadis, walaupun hadis tersebut mempunyai beberapa sanad. Oleh sebab itu, jumlah hadis menurut penomoran al-Alamiyah menjadi lebih banyak daripada menurut Abdul Baqi.
Alasan Penulisan Buku
Didalam muqadimah Kitabnya, Imam Muslim telah membahasa alasan dan mmaksud ia menulis kitab ini. Beliau berkata :
“sesungguhnya kamu mengaku ingin mengetahui secara detail berbagai kabar yang datang dari Rasulullah saw dan segala sesuatu yang berhubungan dengan sunnah-sunnah serta berbagai produk hukum agama, masalah-masalah tentang pahala dan siksa, targhiib wat tarhiib,atau berbagai masalah keagamaan lainnya. Kamu pun mengaku ingin mengetahui itu sesuai dengan rantai sanad yang dinukil secara berkesinambungan oleh para ulama’. Oleh karena itu kamu berkeinginan kuat untuk bisa menjumpai keterangan-keterangan itu dalam sebuah karya yang representatif. Dari sinilah aku terdorong untuk menerangkan permasalahan itu untukmu...” Imam Nawawi. Shahih Muslim bi Syarh an Nawawi. 1994. Kairo : Darul Hadits. Terj. Wawan Djunaedi Sofandi, S. Ag. 2003. Jakarta ; Mustaqim. Hlm. 114-115
Dari keterangan Imam Muslim yang kemudian dijelaskan oleh An Nawawi, bahwa Imam Muslim bermaksud menjelaskan keadaan hadits-hadits yang ditulisnya. Ia bermaksud untuk memberikan sebuah karya kecil yang sempurna yang bisa menjadi pusat rujukan bagi orang awam. Seperti kata dia sendiri, “Dengan mengerjakan sesuatu yang sedikit secara sempurna, maka akan membantu seseorang untuk meraup yang lebih banyak di masa depan.” Ia juga memberikan keterangan, “lebih-lebih orang awam yang tidak bisa membedakan materi hadits...kecuali tanpa bantuan pihak lain.”
Untuk menegaskan keunggulan sistem dan metode karya tulisnya, Imam Muslim berkata : “Memang pengetahuan semacam ini, tidak begitu berarti bagi orang awam yang tidak memiliki antusias untuk mempelajarinya.” Kalimat ini dijelaskan oleh Imam Nawawi dengan maksud “pengetahuan” itu meliputi objek secara detail makna matan, sanad, dan illat dari perawi hadis. Ke semuanya akan membawa seseorang menemukan bahwa kabar yang beredar itu sungguh meyakinkan (qath’i). Bahkan kondisi hidup Muhammad dengan berbagai ajaran spiritualnya akan seperti terlihat di depan mata.
Sumber Berita
Imam Muslim mendapat sumber berita itu dari para ahli hadits dan kemudian diseleksi dengan mengklasifikasikan kabar itu menjadi 3 bagian dan dengan 3 tingkatan perawi. Tingkatan ini kemudian dijelaskan dalam mustholah hadits dengan nama Shahih, Hasan, dan Dhaif.
Tingkatan pembawa berita itu secara ringkas dijelaskan ;
· Pertama, memiliki kekuatan hafalan yang sempurna, seorang yang istiqomah, jujur, dan dipercaya tidak pernah berbohong. Tidak pernah ada kontroversi dan unsur yang buruk.
· Kedua, terkenal jujur dan tidak ada kontroversi, juga sangat piawai mengenai ilmu hadits, namun hafalannya kalah tajam dengan tingkatan pertama.
· Ketiga, perawi yang statusnya tidak jelas, apakah ia jujur atau tidak, apakah ia alim atau tidak, karena dengan banyaknya pengakuan, maka kan memperkuat berita itu. Apabila pembawa berita tidak begitu terkenal, maka Imam Muslim meninggalkan dan tidak menulisnya.
Metode Riset
Sistematika PeImam muslim secara tegas menulis, nama para perawi hadits, dengan seluruh pesan/berita yang disampaikan. Sebagai contoh, Imam Muslim menulis,
و حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا سَلَمَةُ وَهُوَ ابْنُ عَلْقَمَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Perhatikan kata yang dicetak tebal dan bergaris bawah. Ada dua kata, yaitu حَدَّثَنَا dan عَنْ. Dari dua kata itu, para ahli hadits menjelaskan lagi bagaimana sistem persebaran berita. Kata حَدَّثَنَا, oleh para ulama dijelaskan sebagai keadaan seorang perawi mendapat hadits itu dengan cara seorang penerima mendengar secara langsung, baik itu sendirian maupun dalam kelompok dari seorang pembawa berita. Sedangkan kata عَنْ menunjukkan bahwa kabar itu diterima dari orang lain secara mendengar langsung, atau melihat tulisan dari pembawa berita. Dalam hadits di atas, Imam Muslim mendengar hadits itu langsung dari Humaid, Humaid mengatakan bahwa ia mendengar hadits itu dari Bisyr, lalu Bisyir mendengar hadits itu dari Salamah, salamah mendapat/mendengar dari Nafi’, Nafi’ juga mendapat/mendengar dari Ibnu ‘Umar ra. Apa yang mereka berikan dan mereka terima ? Yaitu berita “Rasulullah saw bersabda : ‘الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ.” Kata ini, tidak boleh di ubah, di ganti, atau di sampaikan dalam bahasa lain jika konteksnya adalah tahammul wal ‘ada, dan dari seluruh nama, yaitu Ibnu Umar, Nafi’, Salamah, Bisyr, Humaid, dan imam Muslim mengatakan lafazh ini secara sempurna, tanpa ada perubahan.
Contoh lain ialah,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
Dalam hadits ini terdapat banyak lagi jenis penyambung. Ada kata, حَدَّثَنَا, أَخْبَرَنَا, عَنْ, dan kata سَمِعَ. Dalam konteks tahammul wal ‘ada, kata سَمِعَ merupakan indikasi jelas bahwa ini bukan tulisan, melainkan oral story. Kata أَخْبَرَنَا, oleh para ahli hadits dijelaskan keadaan bahwa pemberi berita bertatap muka secara sempurna, yaitu 4 mata dengan penerima berita. Inilah syarat yang oleh Al Bukhari disebut al Liqa’.
Imam Muslim melakukan riset dengan cara menelusuri riwayt hidup perawi hadits, lalu menulisny dalam Al Musnadul Kabir, dan dihafalnya di luar kepala. Kemudian ia mengklasifikasikan nama-nama itu sesuai kapabilitasnya. Ada pula cara yang ia ambil ialah apabila seorang menunjukkan hadits, maka diminta agar bersumpah bahwa itu benar dan tidak ada kekeliruan sedikitpun. Cara ini dipakai oleh kalangan awal abad kedua Hijriyah,dan juga sedikit dipelajari oleh Imam Muslim. Juga identitas khusus bahwa dari seorang pembawa berita dan penerima, harus hidup sezaman, dan oleh al Bukhari harus bertemu langsung. Syarat ini dapat dilacak dengan kabar-kabar yang beredar di masyarakat mengenai perjumpaan keduanya. Jika tidak ada berita yang banyak mengenai perjumpaan ini, maka syarat sempurnanya hadits gugur.nulisan
Sistematika Penulisan
Imam Muslim hanya mengisyaratkan akan menulis secara sistematis, tanpa pengulangan, dan tanpa adanya pembahasan tingkat lanjut mengenai hadits-haditsnya. Ia menulis dengan urutan Bab sebagai berikut :
- · Kitab Muqadimah : berisi 74 Bab
- · Kitab Iman : berisi 96 Bab dari Bayyin al Iman wal Islam, sampai terakhir pada Bab Sabdanya, Allah berfirman kepada Adam...Berisi 280 hadits.
- · Kitab Thaharah ; berisi 34 Bab dari Fadhilah Wudhu’ sampai pada Dalil Najisnya air Kencing... berisi 111 hadits.
- · Kitab Haidh : berisi 33 Bab dari Mencumbu Wanita haidh di atas sarung, sampai bab Dalil Tidur tidak membatalkan wudhu...berisi 126 hadits.
- · Kitab Shalat : berisi 52 Bab dari Adzan, sampai pada Shalat dengan satu kain. Sampai kitab terakhir, yaitu Kitab Tauhid : berisi 8 Bab dengan 134 hadits
Imam Muslim menulis kitab ini berdasar pembahasan bab-bab keagamaan. Karena sesuai aturannya sendiri, ia menulis untuk menerangkan setiap permasalahan agama dan kabar-kabar dari Rasulullah saw. Bentuk penulisannya, dalam Mustholah hadits dikenal dengan Al Jawami’, berbeda dengan Masanid yang sesuai urutan nama, atau kota, juga berbeda dengan Sunan yang disusun hanya dalam urusan hukum Islam (fiqh).
Satu hal yang sangat intens dalam penulisan Hadits, ialah dengan redaksi sanad dan matan. Seperti contoh diatas, jalur periwayatan, nama-nama perawi, cara al ‘ada, dan redaksi cerita tulis lengkap. Bahkan, Muslim sendiri tidak berani menyisipkan rasionalitasnya dalam setiap hadits, kecuali diperlukan, dan itupun dengan tetap memakai sumber referensi, ia tidak berbicara dengan “intuisi-nya” sendiri.
Lihat pula
Pranala luar
- (Indonesia) Sunnah 9 Kitab Imam Hadis dalam bahasa Indonesia
- (Arab) Shahih Muslim, lengkap dengan sanad, penomoran al-Alamiyah.
- (Inggris) Sahih Muslim, dengan teks Arab.
- (Inggris) Translation of Sahih Muslim, tanpa teks Arab.
- (Inggris) Translation of Sahih Muslim