Lompat ke isi

Terisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 29 Juni 2024 13.09 oleh Mitgatvm Bot (bicara | kontrib) (top: tanpa takson -> klad + clean up)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Terisi
Tidak dievaluasi (IUCN 3.1)
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Rosid
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
A. lebbekoides
Nama binomial
Albizia lebbekoides
(DC.) Benth. (1844) [1]
Sinonim

Acacia lebbekoides DC., 1825[2]
Mimosa carisquis Blanco, 1837
Pithecolobium myriophyllum Gagnep., 1911

Terisi atau tekik (Albizia lebbekoides) adalah sejenis pohon anggota suku Fabaceae. Pepagannya mengandung tanin dan bahan pewarna merah, yang pada masa lalu digunakan untuk mewarnai kain seperti soga, dan karenanya dikenal sebagai soga tekik.[3] Pohon kecil ini menyebar di Asia Tenggara, Filipina, dan Indonesia.[4]

Dalam bahasa Inggris secara salah kaprah dikenal sebagai Indian albizia; di negara-negara lain pohon ini disebut dengan nama-nama: siris, koko (Mal.); haluganit, maganhop-sabukid (Fil.); kh’aang (Laos); kang, chamari dong (Thai); châmri:ek (Kamboja); câm trang, sòng ran (Vietnam) dan lain-lain.[4] Sedangkan di Indonesia dikenal sebagai tarisi (Sd.), dan tekik, kedinding (Jw.).[3]

Kadang-kadang, secara keliru nama ilmiahnya ditulis sebagai Albizia lebbeckioides.[5]

Pengenalan

[sunting | sunting sumber]

Pohon kecil hingga sedang, 8–15(–32) m tingginya, dan gemang batangnya 40(–80) cm. Percabangan membundar, gundul, pepagannya abu-abu.[4]

Daun-daun majemuk menyirip berganda, terletak berseling, dengan tangkai daun 2,5–6 cm dan rakis 5–13 cm yang dilengkapi kelenjar dekat pangkal dan ujungnya.[4] Daun penumpu kecil, seperti benang, 1,5–2 mm; lekas rontok.[6] Sirip berjumlah 3–8 pasang, 5–15 cm panjangnya, berkelenjar, dengan (5–)15—25(–35) pasang anak daun per sirip.[4] Anak daun lonjong sempit, 6–20 mm x 2–6 mm, duduk, asimetris dan terpangkas di pangkalnya.[4]

Bunga majemuk berupa bongkol-bongkol bertangkai, yang terkumpul lagi menjadi malai terminal atau di ketiak daun, panjang malai hingga 18 cm. Bongkol berisi 10–15 kuntum bunga. Bunga berkelamin dua, duduk, seragam, berbilangan-5, harum. Kelopak serupa genta sempit, tinggi lk 1–1,5 mm, berambut, bergigi menyegitiga, hijau pucat; mahkota bentuk tabung, hijau pucat, tinggi lk 4–5 mm, berambut halus, taju bundar telur atau jorong sempit, lk 1 mm. Benang sari banyak, panjang lk 5 mm, putih, pangkalnya menyatu membentuk tabung, yang lebih panjang dari mahkota; bakal buah gundul, 1–1.5 mm, duduk. Buah polong cokelat gelap, tipis rata, lurus atau sedikit membengkok, lonjong memanjang 8,5–15 cm × 1,6–2(–2,8) cm, memecah awalnya pada kampuh bagian tengah. Biji pipih, bundar telur atau hampir bundar, 7 × 5 × 1,5 mm.[6]

Spesimen dari Timor memiliki polongan yang lebih lebar, yakni 2,4–2,8 cm; sementara beberapa spesimen dari Timor dan Bali memiliki ukuran anak daun yang lebih besar, hingga 2,7 × 0,9–1,4 mm; akan tetapi ciri-ciri lainnya serupa.[6]

Ekologi dan agihan

[sunting | sunting sumber]

Tekik biasa tumbuh di hutan musim di daerah kering, agak jarang dijumpai di sabana dan hutan yang selalu hijau. Pohon ini menyukai tempat-tempat yang terbuka seperti di tepi-tepi hutan, tepian sungai, tepi jalan, dan hutan yang telah dibuka; sangat jarang tumbuh di bawah naungan. Tumbuh baik pada elevasi 0–800 m dpl., pada tanah-tanah vulkanik merah maupun tanah kapur.[4] Berbunga bulan-bulan Maret hingga Juni, dan September; berbuah Oktober hingga Desember, lalu Maret dan Mei.[6]

Tekik menyebar secara alami di Burma, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Filipina, dan Indonesia; pernah sekali dikoleksi dari Papua Nugini.[4] Di Indonesia, terisi menyebar di Jawa, Bali, Nusa Tenggara (Sumbawa, Komodo, Flores, Sumba, Timor, Kisar), dan Sulawesi.[6]

Penyamak kulit dan pewarna

[sunting | sunting sumber]

Pepagan kedinding mengandung tanin dan pewarna merah, sehingga di Rembang dan di tempat-tempat lain di Jawa digunakan untuk menyamak kulit lembu dan kerbau, serta untuk mengubar jala agar awet. Di Kediri, dahulu, pepagan tekik digunakan untuk memberi warna merah pada kain, seperti halnya kulit kayu soga, sehingga dinamakan soga tekik. Kandungan bahan penyamak rata-rata pada kulit batang pohon tekik adalah 10,4–14,6%; di samping itu kulit ini juga mengandung alkaloid.[3] Namun publikasi lain menyebutkan angka kandungan tanin antara 15–20% pada pepagan tekik yang agak tua.[5]

Kegunaan lain

[sunting | sunting sumber]

Di Filipina, pepagan terisi sering dimanfaatkan sebagai campuran dalam pembuatan minuman beralkohol yang terbuat dari gula tebu. Di Kamboja, pepagan ini digunakan dalam ramuan tradisional untuk mengobati sakit perut.[4]

Kayu terisi tergolong berbobot sedang hingga agak berat, dengan densitas 500–900 kg/m³ pada kadar air 15%.[5] Meskipun kayu terasnya lebar dan berwarna cokelat tua, menurut Heyne kayu ini hampir tidak pernah digunakan karena adanya jenis-jenis kayu yang lebih baik di wilayah sebarannya.[3] Akan tetapi informasi yang lain menyebutkan bahwa kayu terisi cocok digunakan untuk konstruksi di dalam ruangan, dan digunakan dalam penggilingan padi di Kamboja.[4] Kayu ini tahan terhadap serangan serangga, namun sukar dikeringkan dengan baik.[4] Kajian di Jawa mendapatkan bahwa tegakan terisi berumur 12 tahun menghasilkan riap volume sebesar 2,8 m³ pertahun untuk kayu bebas cabang; jauh lebih kecil dibandingkan weru (A. procera) pada umur 12 tahun sebesar 6,7 m³ pertahun dan sengon (A. chinensis) pada umur 15 tahun sebesar 7,7–8,5 m³ pertahun.[5] Terisi juga menghasilkan kayu yang berbentuk kurang bagus karena banyak bercabang, dan membentuk percabangan pada ketinggian yang relatif rendah.[5]

Terisi kadang-kadang ditanam sebagai pohon pelindung.[4]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Bentham, G.. 1844. Lond. J. Bot. 3: 89
  2. ^ De Candolle, A.P.. 1825. Prodr. 2: 467
  3. ^ a b c d Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia 2: 871. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l Stevels, J.M.C. 1991. Albizia lebbekoides (DC.) Benth. Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine. In: Lemmens, R.H.M.J. and N. Wulijarni-Soetjipto (Editors). Plant Resources of South-East Asia No. 3: Dye and tannin-producing plants. Pudoc, Wageningen, The Netherlands, pp. 48-49
  5. ^ a b c d e Rojo, J.P. 1998. Albizia Durazz. in M.S.M. Sosef, L.T. Hong and S. Prawirohatmodjo. Timber Trees: Lesser known timbers. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) 5 (3): 58-62. PROSEA Foundation, Bogor. ISBN 979-8316-19-3
  6. ^ a b c d e Nielsen, I.C. 1992. Mimosaceae (Leguminosae-Mimosoideae). Flora Malesiana ser. I, Vol. 11 (1): 76-77

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]