Lompat ke isi

Kelir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kelir di dalam istilah pedalangan lebih menunjuk kepada layar tempat memainkan boneka wayang. Kelir biasanya terbuat dari kain berwarna putih benbentuk empat persegi panjang dengan panjang 2 hingga 12 meter dan lebar 1,5 hingga 2,5 meter. Seperti dikataka oleh Redi Suta seorang dalang Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta bahwa panjang kelir yang dipergunakan oleh Keraton Surakarta antara 3,75 meter sampai 4 meter. Kelir ukuran 3,75 meter untuk pementasan wayang Kyai Para, yang dalam pergelaranya boleh dilihat oleh penonon umum dan peralatan ini juga disewakan kepada masyarakat luas yang membutuhkannya. Sedangkan kelir panjang 4 meter untuk wayang Kyai Jimat, Kyai Kadung dan Kyai Kanyut. Ketiga jenis wayang ini hanya dipergelarkan khusus untuk keluarga Raja saja.Di daerah Surakarta panjang kelir antara 2meter ,3,75 meter,4 dan 6 meter. Hal tersebut karena masyarakat pedalangan di Surakarta meniru atau berkiblat kepada ukuran kelir yang ada di Keraton Kasunanan Surakarta. Kelir yang terpendek biasanya hanya digunakan untuk kebutuhan belajar bagi para calon Dalang, tanpa menggunakan simpingan.

Menurut K.P.A Kusumadilaga, bagian kelir baik panjang dan lebarnya dibagi menjadi tiga bagaian, pertama bagian tengah diukur dari tengah-tengah kelir dimana terdapat Blencong atau lampu untuk menerangi pergelaran. Kedua, bagian samping kanan jaraknya satu lengan dari tangan kanan Dalang, diperuntukan sebagai tempat simpingan wayang kanan. Ketiga, bagian kiri, jaraknya satu lengan lebih satu jengkal dari tangan Dalang, sebagai tempat simpingan wayang kiri. Mengapa bagian kiri kelir yang untuk memainkan wayang lebih panjang satu jengkal dibagian kanan Dalang? hal ini untuk mengantisipasi adegan kerajaan, karena kiri tempat pungawa raja menghadap, yang jumlahnya pasti lebih banyak dibandingkan sebelah kanan yang untuk menancapkan Raja dan dayang-dayang saja. Sedalngkan lebar kelir Menurut Kusumadilaga dibagi tiga baian juga. Pertama, bagian atas yang disebut dengan langitan, bagian tengah jagatan dan bagian bawah palemahan (Kamajaya, Sidibya Z.Hadi Sucipto 1981:51-52).

Kelir ini terbuat dari bahan kain sejenis catoon bukan nilon atau orang jawa sering menyebutnya mekao. Bahan ini dipilih karena tidak terlalu licin sehingga jika wayang ditempelkan ke kelir tidak akan mudah goyang ke kanan dan ke kiri, dalang bisa mengendalikan gerak wayang dengan mudah.

Di semua sisi pinggirnya kelir di balut dengan kain warna hitam, dengan lekukan tertentu. Sisi atas disebut sebagai pelangitan sedangkan sisi bawah disebut palemahan. Disebut pelangitan karena letaknya diatas dan difungsikan sebagai langitnya wayang. Bila suatu tokoh boneka wayang dalam posisi terbang, maka akan sampai menyentuh kelir bagian atas ini. Sedangkan palemahan berasal dari kata "lemah" yang berarti tanah sehingga dalam pakeliran lebih difungsikan sebagai tempat berpijaknya wayang. Jika tancepan wayang diatas garis palemahan, wayang tersebut akan terlihat mengambang.

Sisi kanan kiri kelir dijahit berlubang untuk tempat meletakkan sligi, yakni semacam tiang kecil yang terbuat dari bambu atau kayu untuk membentangkan kelir di bagaian kanan dan kiri yang ditancapkan pada batang pisang di bagian bawahnya sedangkan bagian atas dihubungkan dengan gawangan kelir. Disi atas dan bawah kelir juga di jahitkan besi benbentuk bulatan atau segitiga kecil yang berfungsi untuk mengencangkan kelir dengan tali di bagian atas yang bernama pluntur dan dengan placak atau placek di bagian bawah.

Informasi tentang pertunjukan wayang menggunakan kelir sudah ada sejak abad XII, seperti yang termuat dalam kitab Wrettasancaya yang dilukiskan dengan kata-kata "Lwir mawayang tahen gati nikang wukir kineliran himarang anipis". Tulisan tersebut diterjemahkan oleh Kern "Semua pepohonan seperti wayang dengan mega-mega yang mengawang menutupi seperti kelir atau layar. (Hazeu 1978:42). Berita lain adanya kelir juga termuat dalam Kitab Tantu Panggelaran, bahwa pertunjukan wayang sudah menggunakan keli. Hal itu diceritakan turunnya para dewa ke mayapada yakni, Batara Icwara (Syiwa), Batara Brahma dan Batara Wisnu mendalang dengan menggunakan peralatan pangung dan kelir atau layar. (1979: 42-44).

Pada perkembangannya bentuk kelir ini tidak hanya benbentuk empat persegi panjang, tetapi untuk kebutuhan tertentu kelir ada yang dibuat dengan bentuk setengah lingkaran sebagaimana separoh bola dunia dengan bergambarkan pulau-pulau di sisi bagian atas. Kelir ini sangat berkaitan erat dengan gawangan kelir, gedebog, tapakdoro, kotak wayang, keprak

Hazeu, G.A.J, dan RM.Mangkoedimedjo 1979 Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami Ing Jaman Kino. Trans. Sumarsana, Transk. Harjana HP. Jakarta : Proyek Penerbitan Buku Bacaan dab Sastra Indonesia dan daerah.

Kamajaya dan Sudibyo Z. Hadi Sucipto

 1981        Sastramiruda. Jakrata: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan daerah.