Lompat ke isi

Genosida Darfur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.
Genosida di Darfur
Bagian dari Perang di Darfur
Darfur map
Peta Darfur
LokasiDarfur, Sudan
Tanggal23 Februari 2003 – 31 Agustus 2020
SasaranLaki-laki, perempuan, dan anak-anak Darfur dari kelompok etnis Fur, Masalit and Zaghawa
Jenis serangan
Genosida, pembunuhan massal
Korban tewas
Antara80.000 hingga 400.000
Korban luka
Tidak diketahui
KorbanLebih dari 3 juta orang
PelakuPemerintah Khartoum, Janjaweed, Gerakan Keadilan dan Kesetaraan[butuh rujukan] and the Tentara Pembebasan Sudan

Genosida di Darfur adalah pembantaian sistematis etnis Darfur yang terjadi selama konflik yang tengah berlangsung di Sudan Barat. Genosida ini dikenal sebagai genosida pertama di abad ke-21[1]. Atas genosida yang dilakukan terhadap kelompok etnis Fur, Masalit, dan Zaghawa ini, Mahkamah Pidana Internasional telah mendakwa sejumlah orang atas kejahatan kemanusiaan, pemerkosaan, pemindahan penduduk, dan penyiksaan. Menurut Eric Reeves, lebih dari satu juta anak-anak telah "terbunuh, diperkosa, terluka, mengungsi, trauma, atau kehilangan orang tua dan keluarga".

Asal Mula

Krisis dan konflik yang tengah terjadi di wilayah Darfur di Sudan Barat berkembang dari sejumlah peristiwa yang berbeda. Yang pertama adalah perang sipil yang terjadi antara pemerintahan Khartoum dan dua kelompok pemberontak di Darfur: Gerakan Keadilan dan Kesetaraan, dan Tentara/Gerakan Pembebasan Sudan. Kelompok pemberontak ini awalnya terbentuk pada bulan Februari 2003 atas dasar "marjinalisai politik dan ekonomi oleh Khartoum" terhadap Darfur. Pada April 2003, ketika kelompok pemberontak ini menyerang lapangan terbang dan menculik seorang jenderal angkatan udara, pemerintah melancarkan serangan balasan. Pemerintahan Kharthoum kemudian merespons dengan mempersenjatai pasukan milisi untuk menumpas pemberontakan tersebut. Hal ini berujung pada kekerasan massal terhadap masyarakat di Darfur.[2]

Faktor kedua adalah perang sipil yang telah terjadi antara orang Kristiani, animis Kulit Hitam Selatan, dan pemerintah yang didominasi etnis Arab sejak Sudan merdeka dari Inggris pada 1956. Konflik kekerasan yang terjadi selama sekitar 11 tahun itu menyebabkan lebih dari 1 juta orang mengungsi karena pertempuran: melarikan diri ke tempat lainnya di seputaran Sudan atau menyeberang perbatasan ke Chad.

Konflik etnis di Darfur telah berlangsung secara berkepanjangan, dan akarnya adalah rasisme[3]. Darfur adalah tempat tinggal bagi 6 juta orang dan puluhan suku. Darfur terbelah menjadi dua: "Mereka yang mengeklaim dirinya keturunan Afrika Kulit Hitam dan mata pencaharian utamanya adalah pertanian menetap, dan mereka yang mengeklaim dirinya adalah keturunan Arab dan mayoritasnya merupakan penggembala ternak semi-nomad".

Pada 2013, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan hingga 300.000 orang telah terbunuh selama genosida; pemerintah Sudan merespon dengan mengeklaim bahwa angka kematian tersebut "terlalu dibesar-besarkan".[4] Hingga 2015, diperkirakan korban jiwa berada dikisaran 100.000 hingga 400.000 jiwa.[5]

Konflik berlanjut ke tahun 2016 ketika pemerintah diduga menggunakan senjata kimia terhadap populasi lokal Darfur. Hal ini menyebabkan jutaan orang mengungsi karena lingkungan yang tidak aman. Lebih dari 3 juta orang terdampak keras akibat konflik tersebut.[6]

Kejahatan Perang

BBC pertama kali melaporkan isu tentang pembersihan etnis pada November 2003, dan sebelumnya pada tahun yang sama di bulan Maret, seorang pegawai Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) memberikan pernyataan kepada kongres dengan menyebutkan pembersihan etnis dan "pembersihan populasi" yang tengah terjadi di Darfur.

Pada April 2004, Human Rights Watch (HRW) merilis laporan setebal 77 halaman berjudul Darfur Hancur: Pembersihan Etnis oleh Pemerintah dan Pasukan Milisi di Sudan Barat yang disusun oleh HRW setelah 25 hari berada di wilayah tersebut. Direktur eksekutif HRW cabang Afrika, Peter Takirambudde, menyatakan: "Sudah tidak dapat diragukan lagi bahwa pemerintah Sudan bersalah atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Darfur".

Pemerkosaan selama genosida Darfur

Telah tercatat adanya penggunaan pemerkosaan dalam taktik genosida. Kejahatan ini dilakukan oleh pemerintah Sudan dan kelompok paramiliter Janjaweed ("penjahat berkuda"). Aksi yang dilakukan oleh Janjaweed digambarkan sebagai pemerkosaan genosidal, tidak hanya terhadap wanita, namun juga anak-anak. Terdapat pula laporan adanya bayi yang dipukuli hingga tewas, dan mutilasi seksual pada korbannya menjadi hal yang biasa.

Karena konflik yang masih tengah berlangsung, tidak memungkinkan bagi pewawancara dan aktivis untuk melakukan survei berbasis populasi di Darfur. Namun, pemerkosaan dilaporkan terjadi di desa-desa non-Arab oleh Janjaweed dengan bantuan dari militer Sudan.

Skema serangan yang dilakukan berupa:

  1. Pasukan Janjaweed mengepung desa lalu menyerang para gadis dan wanita yang meninggalkan desa untuk mencari kayu bakar atau air.
  2. Pasukan Janjaweed mendatangi rumah warga satu persatu, membunuh anak laki-laki, dan pria sambil memperkosa para gadis dan wanita atau mengumpulkan semua orang, membawa mereka ke tempat terpusat, dimana pasukan tersebut kemudian membunuh anak laki-laki dan pria lalu memperkosa para gadis dan wanita.
  3. Pasukan Janjaweed mendatangi desa atau kota terdekat, kamp pengungsi internal, atau menyeberang perbatasan ke Chad untuk memperkosa perempuan dan anak-anak.

Menurut Tara Gingerich dan Jennifer Leaning, serangan pemerkosaan sering dilakukan didepan orang lain "termasuk suami, ayah, ibu, dan anak dari korban, yang dipaksa untuk menyaksikan dan dilarang untuk mengintervensi". Pemerkosaan genosidal ini dilakukan terhadap rentang usia yang lebar, meliputi wanita berusia 70 tahun atau lebih, perempuan dibawah 10 tahun, dan wanita hamil.

Para gadis dan wanita yang dinyatakan hilang kemungkinan pada akhirnya dilepaskan namun mungkin tidak dapat bertemu kembali dengan keluarganya. Dalam sebuah pernyataan kepada PBB, bekas sekretaris jenderal Kofi Annan mengatakan "Di Darfur, kita melihat seluruh populasi terusir, dan rumah mereka hancur, selagi pemerkosaan digunakan terang-terangan sebagai strategi."


Referensi

  1. ^ Williams 2012, hlm. 192.
  2. ^ Straus 2005
  3. ^ Makau Mutua, "Racism at root of Sudan's Darfur crisis." Diarsipkan 2023-04-20 di Wayback Machine. CSMonitor, July 14, 2004,
  4. ^ Republika2013.
  5. ^ Straus 2015, hlm. 233.
  6. ^ "Darfur Genocide « World Without Genocide -" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-08. Diakses tanggal 2018-12-17. 

Bibliografi