Lompat ke isi

Tuhan personal

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Dewa pribadi)

Tuhan personal, Tuhan pribadi, atau dewa-dewi personal adalah Tuhan yang dapat dikaitkan sebagai sebuah pribadi yang mempunyai sifat-sifat—dan bahkan wujud—seperti manusia,[1] alih-alih sebagai kekuatan impersonal, seperti "Yang Mutlak" atau "Hukum Alam". Dalam konteks Kekristenan dan agama Abrahamik lainnya, istilah "Tuhan personal" juga merujuk pada inkarnasi dari Tuhan sebagai pribadi manusia. Dalam konteks agama Hindu, istilah "dewa-dewi personal" juga merujuk pada Istadewata, yaitu dewa-dewi yang difavoritkan sebagai preferensi pribadi seorang pemuja.

Dalam kitab suci agama-agama Abrahamik, Tuhan digambarkan sebagai pencipta pribadi, berbicara dari sudut pandang orang pertama dan menunjukkan emosi seperti kemarahan dan kebanggaan, dan kadang-kadang muncul dalam bentuk antropomorfik. Misalnya dalam Taurat, Tuhan berbicara dengan dan memberi petunjuk kepada para nabi-Nya dan memiliki kehendak, emosi (seperti kemarahan, kesedihan dan kebahagiaan), niat, dan atribut lain yang menjadi karakteristik pribadi manusia. Hubungan pribadi dengan Tuhan dapat digambarkan dengan cara yang sama seperti hubungan manusia, seperti "Bapa" dalam Kekristenan, atau seperti "Sahabat" dalam Sufisme.[2]

Sebuah survei pada tahun 2019 oleh Pew Research Center melaporkan bahwa 70% orang dewasa Amerika Serikat memandang bahwa "Tuhan adalah personal yang dengannya manusia dapat menjalin hubungan", sementara 15% percaya bahwa "Tuhan adalah kekuatan impersonal."[3] Selain itu, survei tahun 2019 oleh National Opinion Research Center melaporkan bahwa 77,5% orang dewasa Amerika Serikat percaya pada Tuhan personal.[4] Survei "Lanskap Agama 2014" yang dilakukan oleh Pew Research Center melaporkan bahwa 77% orang dewasa Amerika Serikat percaya pada Tuhan personal.[5]

Dalam agama Abrahamik

[sunting | sunting sumber]

Teologi Yahudi menyatakan bahwa Tuhan bukanlah suatu pribadi manusia. Pandangan ini juga ditentukan beberapa kali dalam Perjanjian Lama, yang dianggap oleh orang Yahudi sebagai otoritas yang tak terbantahkan untuk iman mereka (Hosea 11 9: "Akulah Tuhan, dan bukan manusia". Bilangan 23 19: "Tuhan bukan manusia.", bahwa Ia harus berdusta". 1 Samuel 15 29: "yang mulia israel tidak berdusta dan tidak menyesal sebab ia bukanlah manusia"). Namun, sering ada referensi tentang karakteristik antropomorfik Tuhan dalam Alkitab Ibrani seperti "Tangan Tuhan." Agama Yahudi berpendapat bahwa hal ini harus dianggap hanya sebagai kiasan. Tujuan mereka adalah untuk membuat Tuhan lebih dapat dipahami oleh pembaca manusia. Oleh karena Tuhan berada di luar pemahaman manusia, ada berbagai cara untuk menggambarkan-Nya. Dia dikatakan sebagai personal (dalam arti kemampuan orang untuk berdoa kepada Tuhan) dan impersonal (dalam arti ketidakmampuan orang untuk mencapai Tuhan): Dia memiliki hubungan dengan ciptaannya tetapi melampaui semua hubungan.[6]

Dalam kasus kepercayaan Kristen pada Trinitas, apakah Roh Kudus itu impersonal atau pribadi,[7] adalah subyek perdebatan,[8] para ahli pneumatologi masih memperdebatkan masalah tersebut. Yesus (atau Allah Anak) dan Allah Bapa diyakini sebagai dua pribadi atau aspek dari Tuhan yang sama. Yesus adalah ousia atau substansi yang sama dengan Allah Bapa, dimanifestasikan dalam tiga hipostasis atau pribadi (Bapa, Anak, dan Roh Kudus). Orang Kristen nontrinitarian membantah bahwa Yesus adalah "hipostasis" atau pribadi Allah.

Inkarnasi Tuhan

[sunting | sunting sumber]

Islam menolak doktrin Inkarnasi dan gagasan tentang Tuhan pribadi antropomorfik, karena dianggap merendahkan transendensi Tuhan. Al-Qur'an menetapkan kriteria transendental mendasar dalam ayat berikut: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia" [Qur'an 42:11]. Oleh karena itu, Islam dengan tegas menolak semua bentuk antropomorfisme dan antropopatisme dari konsep Tuhan, dan dengan demikian dengan tegas menolak konsep Kristen tentang Trinitas atau pembagian pribadi dalam Ketuhanan.[9][10][11]

Wujud dan keberadaan

[sunting | sunting sumber]

Para salafush sholeh atau tiga generasi Muslim awal dan terbaik, meyakini bahwa Allah memiliki wajah,[12] mata,[13] tangan,[14][15] jari,[16] dan kaki,[17] hanya saja hal-hal tersebut sangatlah berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya.[13]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil al-kitab, as-sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Ia menyebutkan ayat ke-27 dalam surah Ar-Rahman.[18] Ia menjelaskan di dalam kitabnya yang lain: “Nash-nash yang menetapkan wajah dari al-kitab dan as-sunnah tidak terhitung banyaknya, semuanya menolak ta’wil kaum Mu'tazilah yang menafsirkan wajah dengan arah, pahala atau dzat.

Kemudian, mereka meyakini pula Allah berada di atas 'Arsy,[19] letak 'Arsy ada di atas air,[20][21] dan tidak ada satu pun dari makhluk yang serupa dengan-Nya.[13] Dijelaskan dalam sebuah hadits, telah dijelaskan bahwa Allah diliputi oleh cahaya yang sangat terang.[22][23]

Keagungan dan kebesaran sifat-sifat-Nya jelas terlampau agung untuk bisa ditembus oleh akal pikiran manusia yang paling hebat sekalipun. Oleh karena itu, ada riwayat hadits yang melarang untuk memikirkan Allah, mengingat semua akal dan pikiran pasti tidak akan mampu menjangkaunya.[24] Berpikir yang diperintahkan di sini, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim, adalah yang bisa menimbulkan dua pengetahuan dalam hati dan berkembang daripadanya pengetahuan ketiga.[25] Hal itu menjadi jelas dengan contoh sebagai berikut. Apabila hati seorang muslim dapat merasakan akan kebesaran makhluk seperti langit, bumi, tahta kursi, ‘Arsy dan sebagainya, kemudian timbul dalam hatinya rasa ketidakmampuan memikirkan dan menjangkau semua itu, maka akan muncul pengetahuan ketiga yakni kebesaran dan keagungan Tuhan yang menciptakan jenis makhluk-makhluk tersebut yang tidak mungkin dapat diliput serta dicerna oleh akal pikiran.

Dekat dengan manusia

[sunting | sunting sumber]

Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal dalam arti dekat dengan manusia: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”[26]

Baháʼí

[sunting | sunting sumber]

Dalam Iman Baháʼí, Tuhan digambarkan sebagai "Tuhan yang berpribadi, tidak dapat diketahui, tidak dapat diakses, sumber dari semua Wahyu, abadi, Maha Tahu, Maha Hadir dan Maha Kuasa".[27][28] Meskipun transenden dan tidak dapat diakses secara langsung, citranya tercermin dalam ciptaannya. Tujuan penciptaan adalah agar ciptaan memiliki kemampuan untuk mengenal dan mencintai penciptanya.[29] Tuhan mengkomunikasikan kehendak dan tujuan-Nya kepada umat manusia melalui perantara, yang dikenal sebagai Manifestasi Tuhan, yang merupakan para nabi dan rasul yang telah mendirikan agama-agama dari zaman prasejarah hingga saat ini.[30]

Dalam agama darmik

[sunting | sunting sumber]

Buddhisme Theravāda

[sunting | sunting sumber]

Dalam Titthāyatana Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.61, Sang Buddha menolak Tuhan personal sebagai pencipta dan pengatur alam semesta (Pāli: issara; Sanskerta: īśvara).[31] Buddhisme menyatakan bahwa alam semesta diatur oleh Niyāma, yaitu suatu hukum alam impersonal yang berjalan tanpa pribadi pengatur tertinggi. Kepercayaan terhadap Tuhan personal dianggap sebagai suatu pandangan salah yang harus dihindari. Orang yang menganut pandangan tersebut disebut sebagai seseorang yang tidak memahami sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan sehingga berpikiran kacau, tidak menjaga diri mereka sendiri, dan tidak pantas disebut sebagai petapa.[32]

Buddhisme Mahāyāna

[sunting | sunting sumber]

Salah satu subaliran Mahāyāna mengembangkan konsep Adi Buddha. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988),[33] Adi Buddha dan tradisi yang menggunakan istilah ini dijelaskan sebagai berikut:

“Adi‐Buddha adalah salah satu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Sebutan ini berasal dari tradisi Aisvarika dalam aliran Mahayana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa. Sedangkan Aisvarika adalah sebutan bagi para penganut paham Ketuhanan dalam agama Buddha. Kata ini berasal dari ‘Isvara’ yang berarti ‘Tuhan’, ‘Maha Buddha’, atau ’Yang Maha Kuasa’; dan ‘ika’ yang berarti ‘penganut’ atau ‘pengikut’.”

“Istilah ini hidup di kalangan agama Buddha aliran Svabhavavak yang ada di Nepal. Aliran ini merupakan salah satu percabangan dari aliran Tantrayana yang tergolong Mahayana. Sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa dalam aliran ini adalah Adi‐Buddha. Paham ini kemudian juga menyebar ke Jawa, sehingga pengertian Adi‐Buddha dikenal pula dalam agama Buddha yang berkembang di Jawa pada zaman Sriwijaya dan Majapahit. Para ahli sekarang mengenal pengertian ini melalui karya tulis B.H. Hodgson. Ia adalah seorang peneliti yang banyak mengkaji hal keagamaan di Nepal.”

“Menurut paham ini, seseorang dapat menyatu (moksa) dengan Adi‐Buddha atau Isvara melalui upaya yang dilakukannya dengan jalan bertapa (tapa) dan bersemadi (dhyana).”

Hinduisme

[sunting | sunting sumber]

Dalam teks-teks Hindu era abad pertengahan, tergantung pada alirannya, Iswara berarti Tuhan, Makhluk Tertinggi, Tuhan pribadi, atau Purusa Istimewa.[34][35][36] Dalam aliran Saiwa, Iswara adalah julukan dari Siwa.[37][38][39][40] Dalam aliran Waisnawa, Iswara sinonim dengan Wisnu, seperti julukannya sebagai Wenkateswara.[41] Dalam gerakan Bhakti tradisional, Iswara merujuk kepada satu atau lebih dewa favorit sesuai pilihan seseorang (Istadewata) dari kanon dewa-dewi politeistik Hindu. Dalam gerakan sektarian zaman modern seperti Arya Samaj dan Brahmoism, Iswara diwujudkan sebagai Tuhan yang monoteistik.[42] Dalam aliran Yoga, Iswara adalah "dewa pribadi" atau "inspirasi spiritual" apa pun.[43] Dalam aliran Adwaita Vedanta, Iswara adalah bentuk manifestasi dari Brahman.[44]

Waisnawa dan Saiwa,[45] aliran-alliran dari agama Hindu, meyakini sifat pribadi Tuhan yang hakiki. Teks suci Wisnu Sahasranama[46] menyatakan pribadi Wisnu sebagai Paramatma (Atma tertinggi) dan Parameswara (Iswara atau "Tuhan" tertinggi) sementara Rudram menggambarkan hal yang sama tentang Siwa. Dalam teologi yang berpusat pada Kresna (Kresna dipandang sebagai perwujudan Wisnu oleh sebagian besar orang, kecuali gerakan aliran Gaudiya Waisnawa), gelar Swayam Bhagawan digunakan secara eksklusif untuk merujuk kepada Kresna dalam fitur pribadinya,[47][48] istilah tersebut digunakan oleh aliran Gaudiya Waisnawa, Nimbarka Sampradaya, dan pengikut Wallabha, sementara pribadi Wisnu dan Narayana kadang-kadang disebut sebagai dewa pribadi tertinggi dalam aliran Waisnawa lainnya.[49][50]

  1. ^ "Stanford Encyclopedia of Philosophy's concepts of God". Plato.stanford.edu. Diakses tanggal 2018-04-16. 
  2. ^ "The man who realizes God as a friend is never lonely in the world, neither in this world nor in the hereafter. There is always a friend, a friend in the crowd, a friend in the solitude; or while he is asleep, unconscious of this outer world, and when he is awake and conscious of it. In both cases the friend is there in his thought, in his imagination, in his heart, in his soul." Inayat Khan, quoted from The Sufi Message of Hazrat Inayat Khan
  3. ^ "Chapter 1: Religious Beliefs and Practices". U.S. Religious Landscape Survey: Religious Beliefs and Practices. Pew Research Center's Religion & Public Life Project. 1 June 2008. II. Religious Beliefs: God. 
  4. ^ Smith, Tom W. (18 April 2012). "Beliefs about God across Time and Countries" (PDF). NORC at the University of Chicago. Table 3: Believing in a Personal God (2019). 
  5. ^ "Most Christians Believe in a Personal God, Others Tend to See God as Impersonal Force". U.S. Public Becoming Less Religious. Pew Research Center's Religion & Public Life Project. 29 October 2015. 
  6. ^ "Judaism 101: The Nature of G-d". Jewfaq.org. Diakses tanggal 2018-04-16. 
  7. ^ Fairchild, Mary. "Who Is the Holy Spirit? Third Person of the Trinity". Christianity.about.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-27. Diakses tanggal 2018-04-16. 
  8. ^ "Is the Holy Spirit a Person or an Impersonal Force?". Spotlightministries.org.uk. 1973-12-08. Diakses tanggal 2018-04-16. 
  9. ^ Zulfiqar Ali Shah (2012). Anthropomorphic Depictions of God: The Concept of God in Judaic, Christian, and Islamic Traditions: Representing the Unrepresentable. International Institute of Islamic Thought (IIIT). hlm. 48–56. ISBN 9781565645837. 
  10. ^ Zafar Isha Ansari; Isma'il Ibrahim Nawwab, ed. (2016). The Different Aspects of Islamic Culture: The Foundations of Islam. 1. UNESCO Publishing. hlm. 86–87. ISBN 9789231042584. 
  11. ^ Ali Ünal. "The Qur'an with Annotated Interpretation in Modern English [Qur'an 112:4]". mquran.org. Tughra Books. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-04. Diakses tanggal 2021-10-14. 
  12. ^ “…dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari wajah Allah.” (Al-Baqarah 2:272)
  13. ^ a b c “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11)
  14. ^ Ibnu ‘Umar yang padanya terdapat perkataan: “Sesungguhnya Allah akan menggenggam bumi pada hari kiamat dan langit-langit berada di tangan kanan-Nya, lalu berfirman: ‘Aku adalah Raja”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy (13/404) no. 7411 dalam Kitaab At-Tauhiid, Bab: Firman Allah ta’ala: ‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’; dari hadits Naafi’, dari Ibnu ‘Umar secara marfu’.
  15. ^ Abu Hurairah, yang di dalamnya terdapat sabda Rasulullah ﷺ: “Tangan Allah selalu penuh, tidak kurang karena memberi nafkah, dan selalu dermawan baik malam maupun siang". Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy (13/404) no. 7412 dalam Kitaab At-Tauhiid, Bab: Firman Allah ta’ala: ‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’; dari hadits Al-A’raj, dari Abu Hurairah secara marfu’.
  16. ^ Seorang ulama Yahudi datang kepada rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, ‘Wahai Muhammad atau wahai Abul Qâsim, kami mendapati (dalam Taurat) bahwa Allâh meletakkan langit-langit di atas satu jari, bumi-bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari, kemudian Dia berfirman, ‘Aku-lah Raja. Aku-lah Raja.’ Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa (sehingga gigi gerahamnya terlihat) karena senang mengakui kebenaran ucapan ulama Yahudi tersebut. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa Jalla, “...dan mereka tidak mengagungkan Allâh dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” [az-Zumar/39:67]. Hadits shahih Imam Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 4811, 7414, 7415, 7451, 7513), dan masih banyak penjelasan dari beberapa kitab-kitab berikut ini; Muslim dalam Shahîh-nya (no. 2786), Ahmad (1/429, 457), An-Nasâ-i dalam Kitab at-Tafsîr (no. 470, 471, 472) dan as-Sunan al-Kubra (no. 11386-11388), At-Tirmidzi dalam Sunannya (no. 3238, 3239), Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhîd (1/180-181 no. 123, 124, 128), Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 541-544), Al-Âjurri dalam asy-Syari’ah (no. 736, 737, 738), Al-Lâlikâ-i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (no. 706), Abdullah bin Imam Ahmad dalam Kitâbus Sunnah (no. 490), Al-Baihaqi dalam al-Asmâ’ was Shifât (II/68-69), Ibnu Mandah dalam ar-Radddu ‘alal Jahmiyyah (no. 64), At-Thabari dalam tafsirnya (no. 30217-30219)
  17. ^ Dalil hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, no. 6661 dan Muslim, no. 2848, dari Anas bin Malik dari nabi ﷺ, "(Neraka) jahanam masih saja berkata, 'apakah ada tambahan' hingga akhirnya Tuhan Pemiliki Kemuliaan meletakkan kaki-Nya. Kemudian dia berkata, cukup, cukup, demi kemuliaan-Mu, lalu. Lalu neraka satu sama lain saling terlipat." Imam Bukhari, no. 4850 dan Muslim, no. 2847, dari Abu Hurairah, dia berkata, "Nabi ﷺ bersabda, 'Surga dan neraka saling berdebat. Neraka berkata, 'Aku mendapatkan orang-orang yang sombong dan bengis.' Lalu surga berkata, 'Mengapa saya hanya dimasuki oleh orang-orang yang lemah dan rendah.' Allah Tabaraka wa ta'ala berkata kepada surga, 'Engkau adalah rahmat-Ku, denganmu aku rahmati hamba-Ku yang aku suka.' Lalu Dia berkata kepada neraka, 'Engkau adalah azab-Ku, denganmu aku mengazab hamba-Ku yang aku suka. Setiap dari keduanya akan penuh. Adapun neraka tidak akan penuh kecuali setelah Allah meletakkan kaki-Nya, baru dia berkata, 'cukup', 'cukup' maka ketika itu neraka akan penuh dan neraka satu sama lain akan terlipat, dan Allah tidak akan menzalimi makhluknya satupun. Adapun surga Allah akan ciptakan makhluk untuknya."
  18. ^ Lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48.
  19. ^ "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy." (Thaha, 20:5)
  20. ^ "...dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata". (Hud 11:7)
  21. ^ Abdullah bin Amru ra, bahwasanya rasulullah saw bersabda: “Allah telah menentukan takdir bagi semua makhluk lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Rasulullah menambahkan: ‘...dan arsy Allah itu berada di atas air.” (HR. Muslim, no: 4797).
  22. ^ Dari Abu Dzar, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah: "Apakah paduka melihat Tuhan paduka?". Ia menjawab: "Hanya cahaya. Bagaimana mungkin aku dapat melihat Allah?" Hadits riwayat Muslim (178.1), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".
  23. ^ Dari Abdullah bin Syaqiq, ia telah bersabda: Aku bertanya kepada Abu Dzar: "Seandainya aku melihat Rasulullah, pasti aku akan menanyainya." Lantas dia berkata: "Tentang sesuatu apa?" Aku akan menanyainya: "Apakah baginda melihat Tuhan baginda?" Abu Dzar berkata: "Aku telah menanyainya, kemudian dia jawab: 'Aku telah melihat cahaya'." Hadits riwayat Muslim (178.2), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".
  24. ^ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah dan jangan berpikir tentang dzat Allah.” [Diriwayatkan al-Laka’i dalam Syarah al-I’tiqad III/525 dan Abu Syaikh dalam al-‘Azhamah II/210 dari hadits Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Isnadnya dhaif sekali. Tetapi ia diperkuat oleh hadits Abu Hurairah, Abdullah bin Salam, Abu Dzar dan ibnu Abbas. Al-Albani menganggapnya sebagai hadits hasan dalam al-Silsilah al-Shahihah no 1788]
  25. ^ Miftah Dar al-Sa’adah hal 181
  26. ^ Britannica Encyclopedia, Islam, p. 3
  27. ^ Smith, Peter (2008). An Introduction to the Baháʼí Faith. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 106. ISBN 978-0-521-86251-6. 
  28. ^ Effendi, Shoghi (1944). God Passes By. Wilmette, Illinois, USA: Baháʼí Publishing Trust. hlm. 139. ISBN 0-87743-020-9. 
  29. ^ Smith, Peter (2008). An Introduction to the Baháʼí Faith. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 111. ISBN 978-0-521-86251-6. 
  30. ^ Effendi, Shoghi (1991). The World Order of Bahá'u'lláh. Wilmette, Illinois, USA: Baháʼí Publishing Trust. hlm. 113–114. ISBN 0-87743-231-7. 
  31. ^ Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. pp. 175-176. ISBN 978-602-427-074-2. "Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya."
  32. ^ Anggara, Indra. "AN 3.61: Titthāyatanasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  33. ^ Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988). Jakarta: Cipta Adi Pustaka
  34. ^ Dale Riepe (1961, Reprinted 1996), Naturalistic Tradition in Indian Thought, Motilal Banarsidass, ISBN 978-8120812932, pages 177–184, 208–215
  35. ^ Ian Whicher, The Integrity of the Yoga Darsana, State University of New York press, ISBN 978-0791438152, pages 82–86
  36. ^ Mircea Eliade (2009), Yoga: Immortality and Freedom, Princeton University Press, ISBN 978-0691142036, pages 73–76
  37. ^ "Monier-Williams Sanskrit-English Dictionary". IITS Koeln. hlm. 171. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 March 2023. Diakses tanggal 13 January 2021. 
  38. ^ James Lochtefeld, "Ishvara", The Illustrated Encyclopedia of Hinduism, Vol. 1: A–M, Rosen Publishing. ISBN 0-8239-2287-1, page 306
  39. ^ Lord Śiva's Song: the Īśvara Gītā. Andrew J. Nicholson, Laurie Searl. 2014. ISBN 978-1-4384-5102-2. OCLC 880450730. 
  40. ^ Roshen Dalal (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide. Penguin Books. hlm. 235, 379–380. ISBN 978-0-14-341421-6. 
  41. ^ Oliver Leaman (2000), Eastern Philosophy: Key Readings, Routledge, ISBN 978-0415173582, page 251
  42. ^ RK Pruthi (2004), Arya Samaj and Indian Civilization, ISBN 978-8171417803, pages 5–6, 48–49
  43. ^ Lloyd Pflueger, Person Purity and Power in Yogasutra, in Theory and Practice of Yoga (Editor: Knut Jacobsen), Motilal Banarsidass, ISBN 978-8120832329, pages 38–39
  44. ^ Bahm, Archie J. (1992). The World's Living Religions (dalam bahasa Inggris). Jain Publishing Company. ISBN 978-0-87573-000-4. 
  45. ^ Satguru Sivaya, Subramuniyaswami. "Dancing with Shiva". Himalayan Academy. Diakses tanggal 17 June 2011. 
  46. ^ "Sri Vishnu Sahasaranama - Transliteration and Translation of Chanting". Swami-krishnananda.org. Diakses tanggal 2018-04-16. 
  47. ^ Gupta, Ravi M. (2007). Caitanya Vaisnava Vedanta of Jiva Gosvami. Routledge. ISBN 978-0-415-40548-5. 
  48. ^ Gupta, Ravi M. (2004). Caitanya Vaisnava Vedanta: Acintyabhedabheda in Jiva Gosvami's Catursutri tika. University of Oxford. 
  49. ^ Delmonico, N. (2004). "The History of Indic Monotheism And Modern Chaitanya Vaishnavism". The Hare Krishna Movement: The Postcharismatic Fate of a Religious Transplant. Columbia University Press. ISBN 978-0-231-12256-6. Diakses tanggal 2008-04-12. 
  50. ^ Elkman, S.M.; Gosvami, J. (1986). Jiva Gosvamin's Tattvasandarbha: A Study on the Philosophical and Sectarian Development of the Gaudiya Vaishnava Movement. Motilal Banarsidass Pub. 

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]