Ananda Mahidol
Ananda Mahidol | |
---|---|
Raja Rama VIII | |
Raja Siam (kemudian Thailand) | |
Berkuasa | 2 Maret 1935–9 Juni 1946 (11 tahun, 99 hari) |
Pendahulu | Rama VII |
Penerus | Rama IX |
Wali | Dewan Perwalian (1935-1944) Pridi Banomyong (1944 -1946) |
Perdana Menteri | |
Wangsa | Wangsa Mahidol Wangsa Chakri |
Ayah | Pangeran Mahidol Adulyadej, Pangeran Songkhla |
Ibu | Srinagarindra |
Agama | Buddha Theravada |
Tanda tangan |
Ananda Mahidol atau Rama VIII (20 September 1925 – 9 Juni 1946) merupakan raja kedelapan Siam (kemudian berganti nama menjadi Thailand) dari Dinasti Chakri. Ketika diangkat menjadi raja oleh Majelis Nasional pada Maret 1935, ia masih berusia sembilan tahun dan sedang tinggal di Swiss. Ia kembali ke Thailand pada Desember 1945, tetapi enam bulan kemudian, di bulan Juni 1946, ia ditemukan tewas tertembak di tempat tidurnya. Walaupun awalnya kejadian ini dianggap sebagai suatu kecelakaan, penyelidik memutuskannya sebagai sebuah pembunuhan dan tiga pengawal kerajaan kemudian dihukum mati. Misteriusnya hal-hal yang terkait dengan kematian Ananda Mahidol ini menjadikan peristiwa ini suatu kontroversi.
Nama dan gelar Ananda Mahidol adalah Phra Bat Somdet Phra Poramentharamaha Ananda Mahidol Phra Atthamaramathibodin (aksara Thai: พระบาทสมเด็จพระปรเมนทรมหาอานันทมหิดลฯ พระอัฐมรามาธิบดินทร).
Masa kecil
[sunting | sunting sumber]Pangeran Ananda Mahidol Mahidol dilahirkan pada tanggal 20 September 1925 di Heidelberg, Jerman. Ananda merupakan anak kedua dan putra pertama dari Pangeran Mahidol Adulyadej dari Songkhla, yang merupakan putra dari Raja Chulalongkorn, dan Putri Srinagarindra. Segera setelah kelahiran putra Pangeran Mahidol tersebut, Raja Vajiravudh mengirim telegram pada tanggal 13 Oktober 1925, yang menyarankan nama "Ananda Mahidol" (อานันทมหิดล) bagi sang putra, yang berarti "kebahagiaan Mahidol". Ketika itu, Ananda Mahidol memegang gelar Mom Chao, gelar terendah pangeran. Sehingga, nama resmi Ananda berubah menjadi "Mom Chao Ananda Mahidol Mahidol".
Ananda kemudian mengikuti orangtuanya ke Paris, Lausanne, dan ke Massachusetts, ketika Raja Prajadhipok mengeluarkan suatu pengumuman yang mengakibatkan promosi Ananda Mahidol sebagai pangeran di tingkatan yang lebih tinggi, bergelar Phra Worawong Ther Phra Ong Chao. Pengumuman ini juga menguntungkan Mom Chao-Mom Chao lainnya, yaitu anak-anak pangeran bergelar Chao Fa, dengan istri-istri yang sebelumnya merupakan orang biasa. Mereka yang derajatnya juga naik antara lain adalah kakak Ananda, Galyani Vadhana, dan adiknya, Bhumibol Adulyadej.
Keluarga Mahidol kemudian kembali ke Thailand, setelah Pangeran Mahidol Adulyadej berhasil menyelesaikan pendidikan kedokterannya di Universitas Harvard. Namun, Pangeran Mahidol meninggal dunia pada usia 37 tahun, ketika Ananda Mahidol masih berusia 4 tahun. Semenjak itu, Putri Srinagarindra membesarkan putra-putrinya seorang diri.
Pada tahun 1932, sebuah kudeta terjadi di Thailand yang mengakhiri kekuasaan absolut Raja Prajadhipok. Hal ini memaksa Raja Prajadhipok untuk mundur dari jabatannya. Ratu Svang Vadhana, nenek Ananda, merasa cemas dengan keselamatan cucunya tersebut, yang merupakan salah satu calon waris takhta. Dia kemudian menyarankan agar Keluarga Mahidol kembali lagi ke Lausanne. Alasan resmi yang dikeluarkan istana terkait keberangkatan ini adalah demi kesehatan dan pendidikan putra-putri Mahidol. Mereka meninggalkan Thailand pada tahun 1933. Pangeran Ananda menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di sana.
Ketika pengunduran diri Raja Prajadhipok tampak sudah sangat dekat, para anggota pemerintahan bertanya kepada Srinagarindra seputar pendapatnya apabila Ananda Mahidol diangkat menjadi Raja Thailand berikutnya.
Naik takhta
[sunting | sunting sumber]Kemudian sebuah peristiwa besar dalam sejarah Thailand terjadi ketika Raja Prajadhipok mengundurkan diri pada tahun 1935, di tengah kondisi politik negeri yang memanas, dan juga karena masalah kesehatan dirinya sendiri. Kala itu, mahkota sebenarnya sudah jatuh ke tangan saudara-saudara tiri Pangeran Mahidol Adulyadej, karena kakak kandungnya, Putra Mahkota Maha Vajirunhis, meninggal dunia ketika masih remaja dalam masa pemerintahan Raja Chulalongkorn. Kemudian, saudara tirinya, Pangeran Vajiravudh, menggantikan Vajirunhis sebagai putra mahkota, dan ibu Vajiravudh dijadikan ratu sementara, ketika Chulalongkorn melakukan kunjungan ke Eropa. Yang menjadi masalah adalah, pangeran-pangeran yang merupakan putra dari ibu Vajiravudh, Ratu Saovabha, menjadi lebih berhak atas takhta kerajaan. Hal ini kemudian berujung ketika Raja Vajiravudh meninggal dunia, dan mahkota jatuh ke tangan Pangeran Prajadhipok, adiknya.
Pemberian mahkota kepada Pangeran Prajadhipok sendiri menuai konflik. Kemudian muncul kandidat baru Raja Siam, yaitu Pangeran Chulachakribongse, putra Pangeran Chakrapongsepoovanat dari Phitsanulok, yang telah ditunjuk sebagai pewaris Raja Vajiravudh sebelum kematiannya. Undang-undang Pewarisan Takhta yang disahkan Vajiravudh sendiri kemudian dipertanyakan, karena menutup kemungkinan Pangeran Chakrapongsepoovanat (dan Pangeran Chulachakripongse) dari jalan menuju takhta, lantaran menikahi orang asing. Namun pernikahan tersebut terjadi sebelum disahkannnya UU, dan posisinya dikembalikan ke jalur. Belakangan, Prajadhipok dimahkotai sebagai raja.
Ketika Raja Prajadhipok mengundurkan diri, mahkota kembali lagi ke ibu Vajirunahis, Ratu Savang Vadhana, karena Prajadhipok adalah satu-satunya putra Ratu Sri Pacharindra yang tersisa. Savang Vadhana memiliki dua putra lain yaitu, Pangeran Sommootiwongwarothai yang meninggal tanpa putra dan Pangeran Mahidol Adulyadej yang meninggal tetapi memiliki putra, yakni Ananda dan Bhumibol. Kemungkinan Ananda Mahidol menjadi raja tampak lebih jelas. Bagaimanapun juga, konflik yang sama seputar raja berikutnya terjadi lagi. Namun, karena negara telah mempunyai sistem pemerintahan yang baru, Kabinetlah yang menentukan jawabannya. Suara terbelah antara Pangeran Chulachakrapongse dan Pangeran Ananda Mahidol. Pada tanggal 2 Maret 1935, Ananda Mahidol terpilih sebagai Raja Siam berikutnya, menggantikan Prajadhipok yang mengundurkan diri, pada usia 9 tahun.
Raja Thailand
[sunting | sunting sumber]Karena Raja Ananda Mahidol masih terlampau kecil dan sedang bersekolah di Lausanne, Parlemen menunjuk Pangeran Kolonel Anuwatjaturong, Pangeran Letnan Athitaya Dibhabha, dan Chao Phraya Yommaraj sebagai pengisi jabatan sementara.
Pada tahun 1938, di usianya yang ke-13, Ananda mengunjungi Siam sebagai raja untuk pertama kalinya. Ia didampingi ibunya dan adiknya, Bhumibol. Kala itu, Perdana Menteri Siam adalah Plaek Pibulsonggram. Pibulsonggram menjadi perdana menteri selama hampir sepanjang masa pemerintahan Ananda Mahidol. Pibulsonggram juga adalah diktator militer yang mengganti nama Siam menjadi Thailand.
Perang Dunia II
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 8 Desember 1941, militer Jepang datang menduduki Thailand. Ketika itu, Ananda Mahidol sedang berada di luar Thailand, dan Pridi Phanomyong merupakan wakilnya. Sejak 24 Januari 1942, Thailand menjadi pendukung Jepang dan menjadi bagian dari Blok Poros. Di bawah Plaek Pibulsonggram, Thailand menyatakan perang atas Sekutu.
Pada tahun 1944, Jepang terlihat akan segera kalah, dan Bangkok hancur akibat terjangan militer Sekutu. Ditambah lagi dengan krisis ekonomi, pemerintahan Plaek Pibulsonggram menjadi tidak populer. Pada bulan Juli, Plaek Pibulsonggram digulingkan, dan Parlemen mengadakan konvensi lagi dengan menunjuk Khuang Aphaiwong yang merupakan seorang pengacara sebagai perdana menteri. Jepang akhirnya menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945.
Setelah perang
[sunting | sunting sumber]Setelah Perang Dunia II berakhir, Raja Ananda Mahidol kembali ke Thailand. Ia kembali pada Desember 1945 dengan memegang gelar hukum. Meskipun ia masih muda dan belum berpengalaman, ia berhasil merebut dukungan rakyat dengan cepat. Salah satu hal yang berhasil mendongkrak popularitasnya adalah kunjungannya ke kawasan pecinan Bangkok untuk meredakan tensi yang bergejolak antara etnis Thailand dan Cina.[1]
Meskipun demikian, pengamat-pengamat luar negeri berpendapat bahwa Ananda tidaklah ingin menjadi seorang raja, dan sang Raja sendiri merasa bahwa pemerintahannya takkan berlangsung lama.
Kematian yang misterius
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 9 Juni 1946, Ananda ditemukan tewas tertembak secara misterius dalam kamar tidurnya di istana, tepat empat hari sebelum rencana keberangkatannya ke Lausanne untuk meraih gelar doktor. Kemudian, adiknya, Bhumibol Adulyadej, diangkat sebagai Raja Thailand selanjutnya.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Banknotes, Series 15". Banknotes > History and Series of Banknotes >. Bank of Thailand. March 3, 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-04. Diakses tanggal March 4, 2012.
Back—The portrait of HM the King Ananda Mahidoll [sic] with the picture of HM proceeding to visit people at Sam Peng and Illustration of Rama VII Bridge
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Bowring, Philip (10 February 2005). "Books : The Revolutionary King". International Herald Tribune. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-08-20. Diakses tanggal 2009-11-03.
- "Biography of King Ananda Mahidol". Hua Hin Tourist Information. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-12-07. Diakses tanggal 15 December 2005.
- Simpson, Keith (1978). Forty Years of Murder: an Autobiography. Harrap. Chapter 13: The Violent Death of King Ananda of Siam. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-02-22. Diakses tanggal 26 March 2008.
Ananda Mahidol Lahir: 20 September 1925 Meninggal: 9 Juni 1946
| ||
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Prajadhipok |
Raja Siam 1935-1939 |
Tidak ada Nama negara diubah menjadi "Thailand" |
Jabatan baru | Raja Thailand 1939–1946 |
Diteruskan oleh: Bhumibol Adulyadej |