Soekiman Wirjosandjojo
Soekiman Wirjosandjojo | |
---|---|
Perdana Menteri Indonesia ke-6 | |
Masa jabatan 27 April 1951 – 1 April 1952 | |
Presiden | Soekarno |
Wakil PM | Suwiryo |
Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-6 | |
Masa jabatan 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949 | |
Presiden | Soekarno |
Informasi pribadi | |
Lahir | Surakarta, Hindia Belanda | 19 Juni 1898
Meninggal | 23 Juli 1974 Yogyakarta, Indonesia | (umur 76)
Partai politik | Partai Islam Indonesia (1938–1942) Masyumi (Masyumi) |
Suami/istri | Kustami |
Anak | 3 |
Profesi | Politikus |
Sunting kotak info • L • B |
Soekiman Wirjosandjojo (ejaan baru: Sukiman Wiryosanjoyo; 19 Juni 1898 – 23 Juli 1974) merupakan tokoh politik Indonesia yang menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-6 antara 27 April 1951 hingga 3 April 1952 di bawah Kabinet Sukiman-Suwirjo. Ia juga merupakan salah seorang pendiri dan ketua umum pertama Partai Masyumi.
Lahir dalam keluarga pedagang di Surakarta, Soekiman menempuh pendidikan dokter di sekolah medis STOVIA di Batavia sebelum melanjutkan studinya ke Universitas Amsterdam di Belanda. Sempat menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI) di sana, Soekiman pulang ke Indonesia dan berpraktik sebagai dokter. Di luar karier medisnya, Soekiman aktif dalam organisasi-organisasi Islam seperti Sarekat Islam (SI) dan Majelis Islam A'la Indonesia. Sebelum masuknya Jepang ke Indonesia, Soekiman pernah terlibat dalam perselisihan dengan tokoh-tokoh SI seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim, sehingga ia meninggalkan SI dan membentuk partainya sendiri, Partai Islam Indonesia (PII). Selama pendudukan Jepang, Soekiman aktif dalam organisasi Pusat Tenaga Rakyat dan kemudian ditunjuk menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan.
Meskipun sempat menentang keputusan pemerintah untuk membentuk partai-partai politik, Soekiman menjadi ketua umum pertama Partai Masyumi setelah kongres perdana partai pada November 1945. Selama masa Revolusi Nasional Indonesia, ia beroposisi terhadap kabinet-kabinet Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Meskipun begitu, Soekiman mulai berkompromi setelah Agresi Militer I. Ia juga pernah ditunjuk menjadi Menteri Dalam Negeri dalam kabinet Mohammad Hatta dan turut serta dalam Konferensi Meja Bundar. Setelah pengakuan kedaulatan, Soekiman digantikan oleh Mohammad Natsir sebagai pemimpin partai dan menjabat perdana menteri menggantikan Natsir setelah membentuk koalisi dengan Partai Nasional Indonesia.
Kebijakan dalam negeri Soekiman sebagai perdana menteri mencakup nasionalisasi Bank Indonesia dan dimulainya sistem tunjangan hari raya untuk pegawai pemerintah. Ia juga memerintahkan penangkapan belasan ribu orang yang diduga terlibat rencana kudeta, terutama anggota-anggota Partai Komunis Indonesia. Dalam hal diplomatik, Soekiman mencoba untuk meningkatkan hubungan dengan Blok Barat, khususnya Amerika Serikat. Kubu Natsir dan Soekiman dalam Masyumi bertentangan secara politik, dan perselisihan ini menyebabkan jatuhnya kabinet Soekiman setelah skandal perundingan antara Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo dengan Duta Besar AS Merle Cochran. Soekiman tetap aktif di dalam Masyumi, sampai ia hengkang dari politik setelah pecahnya pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dan dimulainya era Demokrasi Terpimpin. Ia meninggal pada tahun 1974 di Yogyakarta.
Masa muda
Soekiman dilahirkan pada tanggal 19 Juni 1898 di Sewu, sekarang dalam kota Surakarta.[1][a] Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ayah Soekiman, Wirjosandjojo, bekerja sebagai pedagang beras.[2] Karena relasi bisnis ayahnya dengan seorang pensiunan tentara Belanda, Soekiman dapat masuk ke sekolah Europeesche Lagere School (sekolah dasar Eropa) di Boyolali. Setelah lulus, Soekiman diterima untuk masuk sekolah kedokteran School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia. Ia lulus dari STOVIA pada tahun 1923. Soekiman sempat mempertimbangkan untuk berhenti studi dan bekerja di perusahaan kereta api kolonial. Namun, ia memutuskan untuk melanjutkan studinya dan pergi ke Belanda setelah ada dorongan dan dukungan finansial dari ayahnya.[4] Selama belajar di STOVIA, Soekiman juga aktif dalam organisasi Jong Java yang didirikan kakaknya Satiman, dan ia diberikan keanggotaan kehormatan di dalam Jong Java.[1][5]
Masih di tahun 1923, Soekiman menikahi Kustami dan sempat memperoleh anak pertama sebelum Soekiman berangkat ke Belanda.[6] Di Belanda, Soekiman menjadi mahasiswa Universitas Amsterdam jurusan kedokteran, dengan spesialisasi penyakit dalam.[3][4] Ia aktif dalam organisasi pelajar Indonesische Vereniging selama di sana, dan sempat menjabat sebagai ketua organisasi tersebut pada masa jabatan 1924–1925.[7][8] Di bawah kepemimpinan Soekiman, organisasi tersebut mengubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia, dan majalah terbitan organisasi tersebut juga berubah judul dari Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka.[9]
Karier awal
Sepulangnya dari Belanda, Soekiman berpindah ke Yogyakarta dan mulai bekerja di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebagai pimpinan rumah sakit. Setelah sekitar dua tahun, ia membuka balai pengobatannya sendiri di kawasan Bintaran. Soekiman dikenal sebagai spesialis penyakit paru-paru, dan sering memberikan diskon atau perawatan gratis bagi warga yang tidak mampu.[10]
Pada tahun 1927, Soekiman bergabung menjadi anggota Partai Sarekat Islam (PSI).[11] Soekiman, bersama Soekarno, juga menjadi tokoh yang berperan dalam pendirian Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang bertujuan untuk menyatukan berbagai organisasi dan partai Indonesia.[12][13] Namun, ketegangan antara PPPKI dan Sarekat Islam muncul karena adanya anggota PPPKI lain yang beranggapan PSI lebih berorientasi kepada paham Islam dibanding ke arah nasionalisme Indonesia.[b] Salah seorang pemimpin PPPKI, Abdoel Moethalib Sangadji, bahkan menyatakan bahwa PSI (yang mengubah namanya pada Januari 1930 menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia atau disingkat PSII) tidak dapat menjadi anggota PPPKI lagi. Soekiman membalas komentar tersebut pada kongres PSII 1931 dengan menyatakan bahwa PPPKI merupakan organisasi "imperialistis".[13] Soekiman sebenarnya berhubungan baik dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler seperti Mohammad Hatta. Begitu Soekiman meluncurkan surat kabar Utusan Indonesia pada tahun 1932, ia meminta Hatta menjadi redaktur kepala.[1]
Pada tahun 1932, Soekiman sempat memperjuangkan nasib 900 orang karyawan pegadaian pemerintah Hindia Belanda di bawah naungan PSII yang dipecat, dan berhasil melobi pemerintah kolonial untuk memberikan kompensasi dan membuka peluang penerimaan mereka kembali kerja. Namun, Soekiman tidak terlebih dahulu berkonsultasi dengan petinggi PSII seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim sebelum mengambil tindakan. Kelalaian ini kemudian dijadikan alasan oleh kedua tokoh tersebut untuk memecat Soekiman dari PSII pada bulan Maret 1933.[14] Soekiman, yang sebelumnya sudah tidak setuju dengan posisi non-kooperatif PSII dengan pemerintah kolonial, memutuskan untuk membentuk Partij Politiek Islam Indonesia (PARTII) bersama sejumlah bekas anggota PSII lainnya dengan dukungan Muhammadiyah.[15][16] PARII cenderung bersifat kooperatif dengan pemerintah kolonial, tetapi PARII gagal meraih dukungan masyarakat luas dan tidak bertahan lama.[15][17] Setelah H.O.S. Tjokroaminoto meninggal, Soekiman sempat bergabung kembali dengan PSII pada tahun 1937, sebelum ia keluar lagi dan mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) sebagai kelanjutan dari PARII pada tahun 1938.[15][18] Meskipun adanya perbedaan ini, Soekiman tetap berpartisipasi dalam pembentukan Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) sebagai payung federasi organisasi-organisasi Islam.[19][20] Bersama saudaranya Satiman, Soekiman juga mencetuskan pembentukan organisasi pendidikan tinggi berdasarkan Islam. Sepanjang tahun 1939 dan 1940, sejumlah institusi pendidikan Islam muncul dari ide ini, tetapi Perang Pasifik dan invasi Jepang terjadi sebelum institusi-institusi ini sempat berkembang.[21]
Pendudukan Jepang
Selama masa pendudukan Jepang, Soekiman awalnya tidak terlalu aktif dalam berpolitik karena MIAI beserta partai-partai politik sempat dilarang beroperasi.[22] Begitu MIAI diperbolehkan aktif kembali pada bulan September 1942, Soekiman sempat aktif kembali sebagai salah seorang pemimpinnya bersama Harsono Tjokroaminoto dan Wondoamiseno.[23] Organisasi tersebut kembali ditutup paksa pada akhir tahun 1943.[22][24] Soekiman juga ditunjuk sebagai anggota dalam organisasi Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA).[25][23]
Soekiman kemudian ditunjuk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).[26] Setelah dicetuskannya Piagam Jakarta, Abdul Wahid Hasyim dengan dukungan Soekiman mengajukan agar Islam dijadikan agama negara dan agar Presiden dan Wakil Presiden diharuskan Muslim. Awalnya, tokoh-tokoh nasionalis sekuler yang dipimpin Soekarno bersedia untuk menerima Piagam Jakarta dan untuk mengharuskan Presiden beragama Islam. Namun, sebelum keputusan dicapai, pemerintahan militer Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang beranggota lebih sedikit. Soekiman tidak menjadi anggota PPKI, dan hasil musyawarah PPKI memutuskan untuk menghapuskan tujuh kata[c] dari Piagam Jakarta sembari memperbolehkan penganut semua agama untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden.[27] Selain itu, Soekiman juga membahas persoalan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan hak-hak warga Indonesia dalam Undang-Undang Dasar.[28]
Perang Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekiman ditunjuk menjadi salah satu anggota dewan pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), yang waktu itu merupakan satu-satunya partai, pada tanggal 22 Agustus. Karena satu partai saja tidak mengakomodasi berbagai golongan di Indonesia, Maklumat 3 November 1945 dikeluarkan untuk memperbolehkan dibentuknya partai-partai politik baru.[29] Empat hari kemudian, pada tanggal 7 November, Kongres Umat Islam Indonesia diadakan di Yogyakarta dan partai Masyumi dibentuk dengan Soekiman sebagai ketua umum pertamanya.[30][31] Para mantan anggota PII mendominasi kepemimpinan Masyumi dalam susunan awalnya.[32] Meskipun begitu, dalam pidatonya pada akhir kongres tersebut, Soekiman menyesalkan keputusan pemerintah untuk membentuk partai politik karena ia beranggapan bahwa partai-partai politik dapat memecah bangsa Indonesia.[31]
Soekiman menentang pembentukan Kabinet Sjahrir I.[33] Bersamaan dengan kongres pembentukannya, Partai Masyumi menerbitkan manifesto yang menolak sistem parlementer karena Undang-Undang Dasar yang waktu itu baru berusia beberapa bulan telah menetapkan bahwa pemerintahan mengikuti sistem presidensial.[34] Bersama dengan Tan Malaka di bawah payung organisasi Persatuan Perjuangan (PP), Masyumi menempatkan diri dalam posisi oposisi terhadap pemerintahan Sjahrir sampai bulan Maret 1946, ketika sejumlah anggota PP ditahan. Setelah penahanan tersebut, Masyumi mengurangi oposisinya terhadap pemerintah.[35] Soekiman juga sebelumnya sudah dilibatkan dalam penyusunan Kabinet Sjahrir II pada bulan Februari 1946,[36] tetapi setelah kabinet tersebut terbentuk, Soekiman mengkritisi komposisi anggotanya.[37] Soekiman terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 sebagai salah seorang tokoh yang mendatangi istana kepresidenan untuk menuntut pembubaran Kabinet Sjahrir II. Menurut Mohammad Hatta, Soekiman mengira tujuannya pergi ke istana adalah untuk mendengarkan pengumuman dari presiden. Begitu Hatta menerangkan tujuan tokoh-tokoh lainnya, Soekiman langsung meninggalkan istana. Soekarno sendiri menolak tuntutan tersebut, dan tokoh-tokoh lainnya yang terlibat seperti Mohammad Yamin dipenjara.[38]
Aksi militer Belanda yang lebih agresif sejak akhir tahun 1946 memaksa Sjahrir untuk mulai berunding, dan hasil Perundingan Linggarjati ditandatangani pada tanggal 15 November 1946. Masyumi di bawah Soekiman saat itu menentang isi perundingan yang dianggap terlalu akomodatif terhadap Belanda, sampai Soekiman bersama Zainul Arifin Pohan menyatakan bahwa mereka berniat menggulingkan pemerintahan Sjahrir secara paksa.[39] Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir III pada tanggal 27 Juni 1947, Soekiman bersama dengan Amir Sjarifoeddin, Adnan Kapau Gani, dan Setyadjit Soegondo ditunjuk oleh Soekarno menjadi formatur kabinet baru. Karena Soekiman menganggap Masyumi memiliki basis pendukung yang besar, ia menuntut beberapa jabatan penting ditempati anggota Masyumi. Tokoh-tokoh lainnya menolak tuntutan tersebut. Soekarno kemudian mencabut mandat formatur dari Soekiman, sehingga ketiga tokoh lainnya dapat menyusun Kabinet Amir Sjarifuddin I.[40] Amir cenderung bersifat antipati terhadap Masyumi, sehingga ia menunjuk menteri seperti Wondoamiseno dan Arudji Kartawinata dari PSII, yang baru dibentuk kembali setelah memisahkan diri dari Masyumi.[41]
Pertentangan antara Amir dengan Masyumi berhenti setelah Agresi Militer I diluncurkan Belanda pada bulan Juli 1947, sehingga kedua pihak sepakat untuk berkompromi dan sejumlah anggota Masyumi ditunjuk menjadi menteri. Kabinet Amir jatuh karena dicabutnya dukungan Masyumi sebagai imbas dari Perjanjian Renville, dan Soekiman ditunjuk menjadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Hatta I.[42] Penunjukan Soekiman diterima baik oleh organisasi-organisasi perjuangan Islam, dan pihak Belanda sempat keliru menganggap bahwa Soekiman merupakan pemimpin pergerakan Darul Islam di Indonesia.[43] Pada tahun 1949, Soekiman juga menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.[44]
Perdana Menteri
Awal mula
Soekiman masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Partai Masyumi sampai tahun 1949 ketika ia digantikan oleh Mohammad Natsir. Soekiman tetap memegang jabatan Ketua Umum Partai sampai ia dijadikan Wakil Ketua Umum pada tahun 1951.[45] Begitu Kabinet Natsir diumumkan, Soekiman mengkritik susunan kabinet tersebut yang dianggapnya terlalu mengikuti tekanan dari TNI Angkatan Darat.[46] Ia juga menganggap bahwa kabinet tersebut rawan secara politik karena keputusan Natsir untuk tidak merangkul PNI.[47] Selama periode Natsir, Soekiman pernah ditunjuk menjadi ketua delegasi internasional untuk mencari dukungan tentang Irian Barat, tetapi delegasi tersebut ditarik pulang setelah kurang dari sebulan.[48] Pada awal tahun 1951, kabinet Natsir mulai goyah karena tekanan dari oposisi yang dipimpin PNI dan perpecahan internal Masyumi antara pendukung Natsir dan Soekiman. Natsir sempat mencoba mencari kompromi dengan PNI, tetapi kabinet tersebut akhirnya jatuh pada tanggal 21 Maret 1951 setelah Partai Indonesia Raya menarik dukungan.[49]
Setelah Sartono dari PNI gagal membentuk kabinet pengganti Natsir, Soekiman beserta Sidik Djojosukarto (dari PNI) ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai formatur untuk membentuk kabinet baru. Soekiman berhasil mencapai titik temu dengan PNI mengenai pembagian kekuasaan di dalam kabinet, dan PNI dapat menerima Soekiman sebagai Perdana Menteri. Namun, PNI tidak menginginkan adanya pengaruh dari Natsir dalam kabinet tersebut. Proses perundingan ini memperburuk perpecahan internal dalam Masyumi, sampai dewan pimpinan partai Masyumi di bawah Natsir menyatakan bahwa tindakan-tindakan Soekiman selaku formatur tidak mewakili Masyumi. Meskipun begitu, Soekiman mulai menjabat sebagai Perdana Menteri setelah Kabinet Soekiman-Suwirjo diumumkan pada tanggal 26 April 1951. Meskipun ada lima anggota Masyumi dalam kabinet tersebut, kubu Natsir tidak terwakili.[50] Kabinet tersebut juga dikritisi karena keputusan Soekiman untuk menambahkan jumlah menteri meskipun banyak usulan untuk menyederhanakan kabinet sepanjang masa Natsir. Meskipun begitu, kubu Natsir memutuskan untuk "memberi kesempatan" bagi Kabinet Soekiman, sehingga ada ruang gerak untuk pemerintah.[51] Karena pada awalnya kabinet Soekiman memegang mayoritas yang cukup besar dalam DPRS, Soekiman lebih leluasa dalam membentuk kebijakan pemerintah dibandingkan dengan Natsir.[52] Tidak seperti Natsir, Soekiman juga menjaga hubungan baik dengan Soekarno.[53]
Kebijakan dalam negeri
Dalam hal kebijakan dalam negeri, Soekiman cenderung mengambil posisi yang lebih tegas melawan pergerakan Negara Islam Indonesia dibawah Kartosoewirjo.[54] Pada bulan Januari 1951, Soekiman menyetujui dimulainya operasi militer di Jawa Barat, setelah kebijakan amnesti Natsir dianggap tidak memberikan hasil yang memuaskan.[55]
Proses nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia dimulai selama masa pemerintahan Soekiman di bawah Menteri Keuangan Jusuf Wibisono, dan pemerintah Indonesia membayarkan penuh nilai saham bank tersebut senilai Rp 25 juta pada waktu itu.[56] Selain bank, pemerintah juga menyetujui nasionalisasi sebagian perkebunan tembakau di Tanjung Morawa, Sumatera Utara seluas 255 ribu hektar, meskipun implementasinya merupakan tugas kabinet berikutnya.[57] Anggaran pemerintah sempat mencapai surplus pada tahun 1951 karena melonjaknya ekspor barang mentah.[58] Rencana industrialisasi Indonesia yang disusun oleh Sumitro Djojohadikusumo mulai diimplementasikan dalam masa Soekiman, meskipun kondisi finansial Indonesia selama bulan-bulan terakhir kabinet Soekiman memburuk karena turunnya ekspor.[59] Awalnya, kabinet Soekiman menetapkan sistem sertifikat valas yang diperlukan untuk mengimpor barang pada bulan Maret 1951. Mengikuti nasehat Hjalmar Schacht, Soekiman menghapuskan sistem sertifikat valas pada bulan Februari 1952 dan menggantikannya dengan bea ekspor sebesar 33 persen. Perdagangan dan ekspor dengan Amerika Serikat, Kanada dan Jepang juga didukung, sementara perdagangan dengan Belanda cenderung menurun.[56] Soekiman juga memutuskan untuk memberikan bonus tunai untuk pegawai negeri sipil pada bulan Ramadhan.[60] Tunjangan tersebut merupakan cikal bakal tunjangan hari raya modern, dan awalnya diberikan sebesar Rp 125 sampai 200 ditambah bantuan beras. Tunjangan untuk pegawai pemerintah ini menimbulkan rasa iri dari kaum buruh swasta, sampai sempat terjadi mogok kerja pada tanggal 13 Februari 1952.[61]
Selain dari mogok kerja, rasa iri ini memicu sejumlah aksi buruh lainnya, dan pada bulan Agustus 1951 mulai beredar rumor bahwa suatu organisasi asing berniat meluncurkan kudeta dengan bantuan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah insiden penembakan di Pelabuhan Tanjung Priok pada tanggal 5 Agustus, pada tanggal 16 Agustus sejumlah tokoh-tokoh PKI dan partai sehaluan ditangkap polisi, dan penangkapan terus berlanjut hingga akhir Agustus. Menurut pernyataan Soekiman ke Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) pada tanggal 29 Oktober 1951, sekitar 15 ribu orang ditahan. Awalnya, aksi ini diterima dengan baik oleh DPRS.[62] Namun, begitu diketahui bahwa tindakan tersebut disusun antara Soekiman dan 2–3 orang lainnya saja, dan karena kurangnya bukti bahwa ada rencana kudeta, Soekiman dituding beraksi karena panik atau karena tekanan dari Amerika Serikat. Meskipun begitu, koalisi pemerintah tetap mendukung Soekiman, dan posisi politik PKI menjadi terisolir dan lemah.[63]
Kebijakan luar negeri
Hubungan antara Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) cenderung memburuk selama masa Soekiman, karena Soekiman menganggap bahwa RRT mendanai dan mendukung PKI. Kabinet Soekiman memutuskan untuk menyetujui embargo dagang terhadap RRT dan menolak masuknya sejumlah diplomat RRT. Sebaliknya, kebijakan luar negeri Soekiman cenderung pro-barat, khususnya Amerika Serikat.[64] Soekiman memutuskan untuk mengirimkan Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo untuk menandatangani Perjanjian San Francisco pada pertengahan bulan Agustus 1951. Dalam internal Masyumi, terdapat sejumlah pertentangan karena tokoh-tokoh lain seperti Mohammad Roem dan Sjafruddin Prawiranegara yang menganggap perjanjian bilateral langsung dengan Jepang lebih menguntungkan untuk Indonesia. Masyumi akhirnya memutuskan untuk mendukung setelah pengambilan suara, dan meskipun PNI juga menentang perjanjian tersebut, Soebardjo menandatangani perjanjian tersebut pada tanggal 6 September.[65][66] Selama di AS, Soebardjo juga berunding dengan Menteri Luar Negeri AS Dean Acheson untuk memberikan pinjaman dan bantuan untuk Indonesia dibawah naungan Mutual Security Act (MSA).[66]
Pada bulan Januari 1952, Soebardjo dan Duta Besar AS untuk Indonesia Merle Cochran melanjutkan negosiasi, dengan sepengetahuan Soekiman, mengenai MSA. Begitu DPRS dan masyarakat umum mengetahui soal perundingan ini, muncul tentangan khususnya atas keputusan untuk menarik Indonesia ke Blok Barat yang berlawanan dengan filosofi bebas aktif. Perselisihan ini diperburuk oleh sifat rahasia perundingan antara Soebardjo dan Cochran.[67] Permasalahan ini semakin berlarut pada tanggal 12 Februari 1952 begitu dewan pimpinan Masyumi memberikan pernyataan bahwa Masyumi tidak akan mendukung perjanjian antara Soebardjo dan Cochran, dan pernyataan ini diikuti PNI empat hari kemudian. Soebardjo memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai menteri luar negeri pada tanggal 21 Februari, dan anggota kabinet lainnya termasuk Soekiman turut mengundurkan diri pada tanggal 23 Februari.[68] Soekiman digantikan oleh Wilopo pada tanggal 1 April 1952.[69]
Kelanjutan karier
Begitu tidak lagi menjadi perdana menteri, Soekiman ditunjuk menjadi ketua Komite Aksi Pemilihan Umum Masyumi, yang bertugas mengatur kampanye Masyumi untuk Pemilu 1955.[70] Setelah jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Soekiman ditunjuk oleh Mohammad Hatta menjadi formatur kabinet pada tanggal 29 Juli 1955 bersama Wilopo dan Assaat, tetapi ketiga tokoh ini gagal membentuk kabinet dan mengembalikan mandat mereka pada tanggal 3 Agustus.[71] Selain itu, ia juga ditunjuk menjadi salah seorang anggota Konstituante.[72]
Pada tahun 1958, begitu Natsir beserta sejumlah pemimpin Masyumi lainnya turut serta dalam gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Soekiman mencoba untuk melobi kepemimpinan Masyumi untuk mengutuk aksi Natsir dkk beserta PRRI. Meskipun begitu, sejumlah tokoh pro-Natsir seperti Prawoto Mangkusasmito masih aktif di dalam Masyumi, sehingga pernyataan resmi partai hanya menyebut PRRI melanggar konstitusi.[73] Kubu Prawoto menang mutlak dalam pemilihan kepemimpinan Masyumi pada kongres partai tahun 1959, meskipun Soekiman mempertahankan jabatannya sebagai Wakil Ketua Umum.[74] Soekarno menawarkan satu kursi dalam DPR-Gotong Royong yang dibentuk tahun 1960 untuk Soekiman, tetapi Soekiman menolak jabatan tersebut secara terbuka. Penolakan ini cukup menyinggung Soekarno, dan kedua tokoh ini tidak lagi bertemu muka setelah itu.[75] Soekiman kemudian pensiun dari politik, dan begitu tokoh-tokoh Masyumi ditangkapi pada awal 1960-an, Soekiman tidak ditahan karena tidak dianggap sebagai ancaman politik oleh pemerintahan.[76] Begitu Soeharto naik menjadi presiden, Soekiman sempat mempertimbangkan untuk membentuk partai Islam baru. Namun, setelah berkonsultasi dengan tokoh pemerintahan Orde Baru, Soekiman mengurungkan niatnya.[77]
Meninggal
Soekiman meninggal di Yogyakarta pada tanggal 23 Juli 1974,[78] pada sekitar pukul 11.30 waktu setempat di rumahnya. Ia dimakamkan keesokan harinya di Makam Taman Siswa di Yogyakarta, sesuai permintaannya agar dikuburkan berdekatan dengan Ki Hadjar Dewantara.[79] Sewaktu meninggal, Soekiman memiliki tiga orang putra dan seorang putri.[80]
Catatan kaki
- ^ Sesuai biografi Soekiman yang diterbitkan pada tahun 1982.[2] Biodata resmi terbitan pemerintah tahun 1952 menuliskan 19 Juni 1896.[3]
- ^ PSII pada waktu itu menerima anggota asing yang beragama Islam.[13]
- ^ Tujuh kata tersebut adalah "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Referensi
- ^ a b c Madinier 2015, hlm. 49–50.
- ^ a b Ibrahim 1982, hlm. 7–9.
- ^ a b Kementerian Penerangan 1952, hlm. 82.
- ^ a b Ibrahim 1982, hlm. 12–15.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 41–42.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 22–23.
- ^ Poeze, Dijk & van der Meulen 2008, hlm. 187.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 45.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 50.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 32–35.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 56.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 59.
- ^ a b c Formichi 2012, hlm. 50.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 63–66.
- ^ a b c Formichi 2012, hlm. 56.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 67.
- ^ Fogg 2019, hlm. 40.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 68–71.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 72–73.
- ^ Fogg 2019, hlm. 41.
- ^ Latif 2008, hlm. 166.
- ^ a b Ibrahim 1982, hlm. 77–78.
- ^ a b Madinier 2015, hlm. 58.
- ^ Fogg 2019, hlm. 42.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 79.
- ^ Madinier 2015, hlm. 62.
- ^ Madinier 2015, hlm. 67–69.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 87.
- ^ Fogg 2019, hlm. 144–147.
- ^ Fogg 2019, hlm. 148–151.
- ^ a b Madinier 2015, hlm. 73–74.
- ^ Anderson 2006, hlm. 220–221.
- ^ Anderson 2006, hlm. 196–198.
- ^ Madinier 2015, hlm. 82.
- ^ Madinier 2015, hlm. 83–85.
- ^ Anderson 2006, hlm. 314.
- ^ Anderson 2006, hlm. 321.
- ^ Madinier 2015, hlm. 86–87.
- ^ Formichi 2012, hlm. 96.
- ^ Fogg 2019, hlm. 196.
- ^ Madinier 2015, hlm. 95–96.
- ^ Madinier 2015, hlm. 100.
- ^ Formichi 2012, hlm. 119.
- ^ Thuỷ 2019, hlm. 124.
- ^ Madinier 2015, hlm. 383.
- ^ Feith 2006, hlm. 152.
- ^ Lucius 2003, hlm. 85.
- ^ Feith 2006, hlm. 160.
- ^ Feith 2006, hlm. 168.
- ^ Feith 2006, hlm. 177–180.
- ^ Feith 2006, hlm. 183.
- ^ Lucius 2003, hlm. 92.
- ^ Lucius 2003, hlm. 93–94.
- ^ Formichi 2012, hlm. 155–156.
- ^ Madinier 2015, hlm. 171–172.
- ^ a b Thuỷ 2019, hlm. 142–143.
- ^ Madinier 2015, hlm. 199.
- ^ Madinier 2015, hlm. 193.
- ^ Thuỷ 2019, hlm. 141.
- ^ Feith 2006, hlm. 186–187.
- ^ "Mengupas Sejarah THR di Indonesia, Sempat Heboh di Awal Kehadirannya". Sindonews.com. 19 April 2022. Diakses tanggal 4 Agustus 2022.
- ^ Feith 2006, hlm. 187–189.
- ^ Feith 2006, hlm. 190–191.
- ^ Lucius 2003, hlm. 96.
- ^ Feith 2006, hlm. 195–196.
- ^ a b Madinier 2015, hlm. 184–186.
- ^ Feith 2006, hlm. 199–201.
- ^ Feith 2006, hlm. 203–205.
- ^ Feith 2006, hlm. 225.
- ^ Madinier 2015, hlm. 204.
- ^ Feith 2006, hlm. 416–417.
- ^ "dr. Sukiman Wirjosandjojo - Masjumi - Profil Anggota". Konstituante.Net.
- ^ Madinier 2015, hlm. 262–263.
- ^ Madinier 2015, hlm. 266.
- ^ Madinier 2015, hlm. 279.
- ^ Madinier 2015, hlm. 429.
- ^ Madinier 2015, hlm. 436.
- ^ Wirjosandjojo 1984, hlm. i.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 115–116.
- ^ Ibrahim 1982, hlm. 29.
Daftar pustaka
- Kami perkenalkan. Kementerian Penerangan. 1952.
- Anderson, Benedict Richard O'Gorman (2006). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 978-979-3780-14-6.
- Feith, Herbert (2006). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 978-979-3780-45-0.
- Fogg, Kevin W. (2019). Indonesia's Islamic Revolution (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-108-48787-0.
- Formichi, Chiara (2012). Islam and the Making of the Nation: Kartosuwiryo and Political Islam in 20th Century Indonesia (dalam bahasa Inggris). BRILL. ISBN 978-90-04-26046-7.
- Ibrahim, Muchtaruddin (1982). Dr. Sukiman Wirjosandjojo: hasil karya dan pengabdiannya (PDF). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Latif, Yudi (2008). Indonesian Muslim Intelligentsia and Power (dalam bahasa Inggris). Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-472-8.
- Lucius, Robert E. (2003). "A House Divided: The Decline and Fall of Masyumi (1950-1956)" (PDF) (dalam bahasa Inggris). Naval Postgraduate School. Diakses tanggal 6 April 2022.
- Madinier, Remy (2015). Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and Integralism (dalam bahasa Inggris). NUS Press. ISBN 978-9971-69-843-0.
- Poeze, Harry A.; Dijk, Cornelis; van der Meulen, Inge (2008). Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-979-9101-23-5.
- Thuỷ, Phạm Văn (2019). Beyond Political Skin: Colonial to National Economies in Indonesia and Vietnam (1910s-1960s) (dalam bahasa Inggris). Springer. ISBN 978-981-13-3711-6.
- Wirjosandjojo, Soekiman (1984). Wawasan politik seorang muslimin patriot, Dr. Soekiman Wirjosandjojo, 1898-1974: kumpulan karangan. Yayasan Pusat Pengkajian, Latihan dan Pengembangan Masyarakat.
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Muhammad Natsir |
Perdana Menteri Indonesia 1951–1952 |
Diteruskan oleh: Wilopo |
- Kelahiran 1898
- Kematian 1974
- Meninggal usia 76
- Anggota BPUPKI
- Dokter Indonesia
- BPUPKI
- Tokoh Orde Lama
- Tokoh Jawa
- Tokoh dari Surakarta
- Politikus Hindia Belanda
- Politikus Partai Masyumi
- Pendiri partai politik
- Perdana Menteri Indonesia
- Menteri Kabinet Hatta II
- Menteri Dalam Negeri Indonesia
- Menteri Pertahanan Indonesia
- Anggota Konstituante Republik Indonesia
- Anggota DPR RI 1956–1959
- Alumni Universitas Amsterdam
- Penerima Bintang Mahaputera Adipradana