Buano Selatan, Huamual Belakang, Seram Bagian Barat
Buano Selatan Hena Puan (Sarane) | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Maluku |
Kabupaten | Seram Bagian Barat |
Kecamatan | Huamual Belakang |
Luas | ... km² |
Jumlah penduduk | ... jiwa |
Kepadatan | ... jiwa/km² |
Buano Selatan adalah negeri di Kecamatan Huamual Belakang, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Geografi
[sunting | sunting sumber]Buano Selatan terletak di bagian selatan Pulau Buano. Pulau ini memiliki pelabuhan alam yang aman saat angin muson barat bertiup.[1] Oleh karenanya, sejak lama telah tergabung dalam jaringan perniagaan global, didukung dengan letak Pulau Buano yang berdekatan dengan pusat produksi cengkih di Semenanjung Huamual.
Demografi
[sunting | sunting sumber]Data tahun 2017 menunjukkan Buano Selatan dihuni oleh 1.791 jiwa. Jumlah ini jauh lebih kecil dari penduduk Buano Utara yang hampir 10 kali lipat lebih banyak. Buano Selatan adalah negeri Sarane, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan. Semua penduduk asli Buano Selatan memeluk Kristen, sementara ada beberapa pemeluk Islam yang merupakan migran dari Buton yang mendiami beberapa dusun di tanah petuanan Buano Selatan.
Hubungan sosial
[sunting | sunting sumber]Hubungan dengan negeri tetangga
[sunting | sunting sumber]Buano Selatan bertetangga dan sebenarnya masih satu asal dengan Buano Utara. Batas-batas antara kedua negeri pun tidak jelas sehingga tampak seperti satu negeri saja. Bahkan, bangunan masjid utama Buano Utara dan Gereja Protestan Maluku Jemaat Buano Selatan terletak tidak berjauhan. Secara umum, hubungan keduanya cukup harmonis dan ketika keluar pulau, mereka memakai satu identitas saja, yakni sebagai orang Buano. Pada tahun 1990an, kedua negeri bertetangga ini terlibat beberapa pertikaian. Salah satunya adalah penyerangan dari Buano Utara yang merusak rumah dan membakar baileo Buano Selatan pada awal 1990an. Kejadian tersebut dipicu oleh penangkapan dan pemberian sanksi adat oleh lembaga kewang Buano Selatan terhadap nelayan-nelayan keturunan Buton yang merupakan warga Buano Utara. Para nelayan tersebut dikenakan sanksi karena telah melanggar sasi yang sedang diberlakukan di Buano Selatan. Penangkapan tersebut menyulut emosi masyarakat Buano Utara sehingga akhirnya menyerang Buano Selatan. Akibat penyerangan tersebut, Buano Selatan berhenti menjadi negeri pemberlaku sasi dan membubarkan lembaga kewangnya, hingga akhirnya dihidupkan kembali pada tahun 2010 dengan bantuan LSM luar.
Penyerangan kembali dilakukan Buano Utara ke Buano Selatan pada 1999, dipicu oleh penyerangan atas negeri Buano Utara oleh Laskar Kristen yang diduga berasal dari Pulau Seram dan Manipa. Penyerangan itu dilakukan melalui jalur laut. Sebagai balasan, masyarakat Buano Utara menyerang Buano Selatan dan membakar gereja di sana. Tak hanya itu, pembalasan dilakukan pula dengan cara menyeberang ke luar Buano dan melakukan serangan balasan ke Allang Asaude yang merupakan negeri Sarane.
Baru-baru ini, bibit konflik horizontal kembali menyeruak di Pulau Buano. Hal ini dipicu oleh kesalahpahaman mengenai batas dan luas wilayah. Menurut masyarakat Buano Utara, negeri mereka lebih luas dibanding Buano Selatan, tetapi data publikasi BPS Kabupaten Seram Bagian Barat menuliskan bahwa Buano Selatan lebih luas dibanding Buano Utara. Namun, ketegangan yang terjadi tidak sampai menyebabkan bentrokan atau penyerangan.
Gandong
[sunting | sunting sumber]Semua negeri di Pulau Buano terikat hubungan gandong dengan adik-adiknya di Negeri Oma (Leparissa Leamahu) di Pulau Haruku dan Ullath di Pulau Saparua.[2] Ikatan ketiga negeri ini terbilang sangat kuat. Dalam pembangunan gereja di Ullath, salah satu tiang kayu utamanya diambil dari hutan Pulau Buano dan diantarkan menggunakan kapal melintasi lautan. Perwakilan masyarakat Buano, Oma, dan Ullath bergabung bersama dalam suatu panas gandong tidak resmi pada acara peresmian dan pemberkatan gedung gereja Ullath yang baru. Hubungan gandong antara Buano dengan Oma dan Ullath berkaitan erat dengan kisah tiga moyang yang berasal dari Melaka. Mereka bertiga adalah moyang matarumah Tamalene yang menetap di Buano, moyang Pattinama di Oma, dan moyang Siwabessy di Ullath. Ada pula versi lain mengenai asal-usul gandong Buano, Oma, dan Ullath, yakni dari tiga bersaudara Latuaren, Latuputty, dan Latukurandjina, yang berasal dari Nunusaku atau Nusa Ina (Pulau Seram).
Pela
[sunting | sunting sumber]Buano Selatan mengikat pela dengan negeri Piru (Hatutelu). Menurut catatan Bartels, pela antarkedua negeri saat ini sudah tidak aktif.[3] Ada pula yang menyebutkan bahwa Buano, tanpa membedakan antara Buano Utara atau Buano Selatan, ber-pela pula dengan Negeri Lumoli.[4]
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- (Indonesia) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau tahun 2021
- (Indonesia) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan
- (Indonesia) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Collins, J. T. (1983). The Historical Relationships of the Languages of Central Maluku, Indonesia. Canberra: Pacific Linguistics, The Australian National University. doi:10.15144/pl-d47. hdl:1885/145231. ISBN 978-0-85883-289-3.
- ^ Marthin Ramstedt 2004, hlm. 130.
- ^ Dieter Bartels. "(TENTATIVE) LIST OF PELA RELATIONSHIPS INVOLVING VILLAGES LOCATED IN THE PASISIR REGION OF THE CENTRAL MOLUCCAS" (PDF). nunusaku.com. Diakses tanggal 24 Mei 2024.
- ^ Elsina Titaley, Sanggar Kanto, Darsono Wisadinara, Mardiono 2018, hlm. 16.