Cinta kasih dalam Hindu
Konsep Cinta Kasih |
---|
Enam agama utama |
Agama lainnya |
Cinta kasih dalam Hindu memerlukan refleksi yang mendalam dan implementasi nyata dalam ranah kehidupan dengan ketulusan. Sesuatu yang menjadi objek dari cinta kasih adalah semua ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa. Ajaran cinta kasih tersebut diimplementasikan dalam interaksi sosial religius, yaitu antara pawongan (sesama manusia), palemahan (manusia dengan lingkungan), dan parahyangan (manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa). Ketiga hal ini, dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Adapun yang mendasari cinta kasih adalah ajaran yang menyatakan bahwa “aku adalah kamu”. Maknanya lantas dikembangkan lagi menjadi "engkau adalah dia" atau "dia adalah mereka" dan sering disebut dengan Tat twam asi, yang dinyatakan dalam Kitab Chandogya Upanisad VI. 14. 1.
Konsep
[sunting | sunting sumber]Ajaran cinta kasih memang bukanlah monopoli agama tertentu. Paham tersebut juga ada dalam ajaran Hindu. Mencintai dan mengasihi merupakan dua hal yang saling bersinergi. Cinta kasih memang tidak sekadar pemanis bibir semata ketika berbicara tentang harmoni manusia dan alam semesta. Dia memerlukan refleksi yang mendalam dan implementasi nyata dalam ranah kehidupan dengan ketulusan. Siapa saja yang telah mencapai tahap ini dapat dipastikan kehidupannya semakin tenteram dan damai. Cinta kasih yang tulus niscaya memberikan dampak fundamental dalam memberikan arti dan makna kehidupan saat ini dan yang akan datang. Dimensi waktu yang lampau, sekarang, dan yang akan datang merupakan perputaran cakra kehidupan yang harus dilalui dengan semangat cinta kasih kepada semua ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.[1]
Raka Putra (Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Bekasi) menguraikan bahwa dalam mengasihi sudah terkandung makna mencintai. Cinta adalah perasaan kepada kesenangan, kesetiaan, dan kepuasan terhadap suatu objek, sedangkan kasih adalah perasaan tulus terhadap suatu objek. Lebih lanjut, Raka menjelaskan jika perbedaan signifikan di antara keduanya terletak dalam kesanggupan dan kemampuan memahami hakikatnya. Sesuatu yang menjadi objek dari cinta kasih adalah semua ciptaan Sang Hyang Widhi. Ciptaan Tuhan dapat digolongkan dalam tingkatan sesuai eksistensi atau kemampuannya, yaitu:[1]
- Eka pramana adalah makhluk hidup yang hanya memiliki satu aspek kemampuan, berupa bayu (tenaga hidup), seperti halnya tumbuh-tumbuhan;
- Dwi pramana adalah makhluk hidup yang memiliki dua aspek kemampuan, berupa bayu dan sabda (bicara), seperti halnya binatang;
- Tri pramana adalah makhluk hidup yang memiliki tiga aspek kemampuan, berupa bayu, sabda, dan idep (pikiran), seperti halnya manusia.[2]
Untuk menghayati lebih mendalam, ajaran cinta kasih diimplementasikan dalam interaksi sosial religius, yaitu antara pawongan (sesama manusia), palemahan (manusia dengan lingkungan), dan parahyangan (manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa). Ketiga hal ini, dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Adapun yang mendasari cinta kasih adalah ajaran yang menyatakan bahwa “aku adalah kamu”. Maknanya lantas dikembangkan lagi menjadi "engkau adalah dia" atau "dia adalah mereka" dan sering disebut dengan Tat twam asi, yang dinyatakan dalam Kitab Chandogya Upanisad VI. 14. 1.[1][3]
Berdasarkan Brhadaranyaka Upanisad I. 4. 10. dinyatakan bahwa Aham Brahman Asmi, yang berarti "Aku adalah Brahman atau Tuhan", sedangkan dalam Chandogya Upanisad III. 14. 3. tertera bahwa Sarwam khalu idam Brahman, yang artinya "semua ini adalah Brahman atau Tuhan".[4] Melalui ajaran tersebut, dapat diketahui bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang lepas dari-Nya. Menyadari bahwa asal dan tujuan kembalinya semua yang ada di dunia ini adalah sama, tidak ada satupun di dunia ini yang memiliki kekuatan hukum yang abadi, kecuali Tuhan. Sesuatu yang berbeda hanyalah jasad materi yang sewaktu-waktu bisa berubah atau tidak kekal. Dengan demikian, tidak ada yang harus dibanggakan kepada sesuatu yang mengarah pada rusaknya perdamaian, kerukunan, dan kesejahteraan umat manusia.[1]
Sejatinya, kebanggaan umat manusia dalam ajaran Hindu adalah berbudi luhur dan berprestasi, tetapi untuk mengekspresikan kebanggaan hendaknya dengan bijaksana dan menampilkan simpati. Hal ini hendaknya menjadi renungan bagi tumbuhnya spiritualita dan moralitas, dalam rangka meningkatkan sraddha kepada Sang Hyang Widhi. Raka memberikan penekanan bahwa percaya kepada Tuhan sudah termasuk di dalamnya cinta kasih kepada sesama manusia dan lingkungan. Hal ini menandakan bahwa hakikat percaya kepada Tuhan adalah dengan menebarkan cinta kasih kepada sesama dan menjaga lingkungan. Selanjutnya, Raka juga menulis bahwa pemikiran yang arif dan bijaksana dibutuhkan pada era global. Manusia di satu sisi dituntut bersikap rasional, tetapi di sisi lain masih diperlukan curahan spiritual, terutama dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya.[1]
Jalan terbaik adalah mensinergikan antara emosi spiritual dengan sikap rasional. Relevansi keseimbangan cinta kasih dengan era modern dalam hal ini lebih difokuskan kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.[5] Keseimbangan ini sangat penting bagi terjaganya harmoni kehidupan, yang di dalamnya hidup beragam makhluk ciptaan-Nya. Saling mencintai dan mengasihi satu sama lain tanpa memandang perbedaan fisik akan memberikan keseimbangan cinta kasih. Yajur 32. 8 menyatakan bahwa Sa’atah protasca wibhuh prajasu, yang berarti "Tuhan terjalin dalam makhluk yang diciptakan". Berdasarkan ajaran ini, dapat dipahami bahwa Tuhan memanifestasi dalam makhluk yang diciptakan-Nya. Dikarenakan manusia adalah bagian dari makhluk ciptaan-Nya itu, sewajarnya jika manusia turut aktif dalam menjaga keseimbangan cinta kasih itu secara tulus dan tanpa melihat bentuk fisik.[1]
Cinta kasih juga harus selalu ada dalam ruang keluarga. Satu hal utama mengenai konsep cinta dalam keluarga yang disebutkan dalam Weda adalah keterbukaan. Anggota keluarga harus dapat menciptakan keselarasan dan kesesuaian sesuai dengan rta (hukum abadi). Atharwaweda III.30 menyatakan perkataan pendeta kepada kelompok keluarga sebagai berikut.[1]
Aku membuat engkau bersatu dalam hati, bersatu dalam pikiran, tanpa rasa benci, mempunyai ikatan satu sama lain seperti anak sapi yang baru lahir dari induknya agar anak mengikuti ayahnya dalam kehidupan yang mulia dan sehaluan dengan ibunya. Agar si istri berbicara yang manis, mengucapkan kata-kata damai kepada suaminya. Agar sesama saudara, laki-laki atau perempuan tidak saling membenci. Agar semua bersatu dan menyatu dalam tujuan yang luhur dan berbicara dengan sopan. Semoga minuman yang engkau minum bersama dan makan makanan bersama ––––– Atharwaweda III.30
Konsep hubungan vertikal dan horizontal juga berlaku dalam kehidupan keluarga agar mencapai satu tujuan luhur, yaitu keharmonisan, ketenteraman, kedamaian, dan kebahagiaan bersama. Kebersamaan dalam kehidupan keluarga ini menjadi parameter ke tingkat kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, ajaran cinta kasih Hindu mengantarkan manusia ke dalam kehidupan damai, tenteram, harmoni, dan diliputi rasa kepedulian terhadap sesama manusia dan makhluk hidup.[1]
Maitrī
[sunting | sunting sumber]Istilah Weda maitrī muncul di kitab Samhita, Aranyaka, Brahmana, dan lapisan syair Upanisad dalam Regweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atharwaweda.[6]
Dengan mengatakan kebenaran, aku menginginkan ini:
Semoga aku menikmati cinta kasihnya seperti kamu,
Janganlah seorang pun di antara kamu menggantikan yang lain,
Dia telah menikmati cinta kasihku, yang maha tahu.
Speaking the truth I desire this:
May I enjoy her lovingkindness as do ye,
May not one of you supplant another,
She hath enjoyed my lovingkindness, the all-knower.
Istilah serupa juga muncul dalam himne ke-55 dari kitab 19 Atharwaweda,[8] dan berbagai bagian Upanisad.[9] Upanisad awal utama dalam agama Hindu, yang disebut Maitri Upanisad, membahas kebaikan dan persahabatan universal. Upanisad Maitri, kata Martin Wiltshire, memberikan landasan filosofis, dengan menegaskan, "apa yang dipikirkan seseorang, itulah yang akan terjadi, inilah misteri abadi". Ide ini, tambah Wiltshire, mencerminkan asumsi dalam pemikiran kuno bahwa seseorang memengaruhi lingkungan dan situasinya sendiri, kausalitas bersifat adil, dan "tindakan kehendak yang baik menghasilkan situasi yang menyenangkan, sementara tindakan kehendak yang buruk menghasilkan situasi yang tidak menyenangkan".[10][10]:94–95 Kitab Maitri Upanisad mengajarkan, kata Juan Mascaró, bahwa kedamaian dimulai dari pikiran sendiri, kerinduan akan kebenaran, melihat ke dalam diri sendiri, dan bahwa "ketenangan pikiran mengatasi perbuatan baik dan jahat, dan dalam ketenangan jiwa menjadi satu: maka seseorang merasakan kegembiraan keabadian."[11]
Kitab Isa Upanisad juga membahas tentang persahabatan universal dan cinta kasih, namun tanpa istilah maitrī.[12] Ajaran tentang maitrī universal ini memengaruhi pemikiran Mahatma Gandhi.[13]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]- Akal dan cinta
- Cinta kasih dalam ajaran Kristen
- Estetika, agama, dan dimensi estetis Tuhan
- Gugatan atas peran agama
- Satu Tuhan banyak sebutan
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 145–150. ISBN 978-602-0265-30-8.
- ^ Sudarsana, I Gede (19 Januari 2002). "Kita Hidup Bukan untuk Kehidupan Ini". Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Diakses tanggal 11 Juli 2021.
- ^ Awanita, Made (5 Januari 2009). "Cinta Kasih". Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Diakses tanggal 12 Juli 2021.
- ^ Putra, Raka (7 Juli 2009). "Cinta Kasih dalam Perspektif Hindu". Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Diakses tanggal 12 Juli 2021.
- ^ Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 46–48. ISBN 978-979-9075-69-7.
- ^ Bloomfield, Maurice (1906). A Vedic Concordance. Harvard Oriental Series. 10. Cambridge, Mass.: Harvard University Press. hlm. 713–717.
- ^ The Veda of the Black Yajus School entitled Taittiriya Sanhita. 2: Kandas IV–VII. Diterjemahkan oleh Keith, Arthur Berriedale. Harvard University Press. 1914. hlm. 335 (iv,3,12,i:k).
- ^ Ralph Griffith (1896). The Hymns of the Atharvaveda. E. J. Lazarus. hlm. 312–313.
- ^ Radhakrishnan, S. (1992). Rabindranath Tagore: A Centenary. Sahitya Akademi. hlm. 387. ISBN 978-81-7201-332-5.
- ^ a b Wiltshire, Martin G. (1990). Ascetic Figures Before and in Early Buddhism: The Emergence of Gautama as the Buddha. Religion and Reason. 30. Walter de Gruyter. ISBN 978-3-11-009896-9.
- ^ Mascaró, Juan (1965). The Upanishads. Penguin. hlm. 103–104. ISBN 978-0-14-044163-5.
- ^ Gupta, Kalyan Sen (2016). The Philosophy of Rabindranath Tagore. Routledge. hlm. 10. ISBN 978-1-317-02143-8.
- ^ Snow, Nancy (2012). Chatterjee, Deen K., ed. Encyclopedia of Global Justice. Springer Science & Business Media. hlm. 2155. ISBN 978-1-4020-9160-5.