Devaluasi mata uang
Devaluasi mata uang adalah suatu tindakan penyesuaian nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing lainnya yang dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas Moneter yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Devaluasi tersebut biasanya dilakukan apabila rezim yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya dinilai terlalu tinggi dibandingkan nilai mata uang negara lain dimana nilai mata uang tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negera yang bersangkutan. Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan inflasi kedua negara. Negara yang inflasinya tinggi seharusnya akan segera mengalami penurunan nilai namun dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak berlaku secara otomatis karena penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan pemerintah. Tanda-tanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai antara lain ekspor yang terus menurun dan industri manufaktur mulai mengalami penurunan kinerja.
Devaluasi di Indonesia
[sunting | sunting sumber]20 Maret 1950
[sunting | sunting sumber]Pemerintahan Presiden Sukarno, melalui menkeu Syafrudin Prawiranegara (Masyumi, Kabinet Hatta RIS) pada 30 Maret 1950 melakukan devaluasi dengan penggutingan uang. Syafrudin Prawiranegara menggunting uang kertas bernilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya berkurang separuh. Tindakan ini dikenal sebagai "Gunting Syafrudin".
24 Agustus 1959
[sunting | sunting sumber]Pemerintahan Presiden Sukarno melalui Menteri Keuangan yang dirangkap oleh Menteri Pertama Djuanda menurunkan nilai mata uang Rp 1.000 yang bergambar gajah dan Rp 500 yang bergambar macan, diturunkan nilainya hanya jadi Rp 100 dan Rp 50 Pemerintah juga melakukan pembekuan terhadap semua simpanan di bank-bank yang melebihi jumlah Rp.25.000.
Tujuan kebijakan devaluasi ini adalah meningkatkan nilai rupiah dan rakyat kecil tidak dirugikan. Namun, kebijakan pemerintah ini ternyata tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi secara keseluruhan.
1966
[sunting | sunting sumber]Imbas dari tindakan embargo yang dilancarkan oleh sekutu Kapitalis dan Imperialis terhadap Indonesia karena berani menentang pembentukan negara boneka di kawasan Asia Tenggara oleh Inggris dan AS, Waperdam III Chairul Saleh terjeblos dalam tindakan ekstrem, mengganti uang lama dengan uang baru dengan kurs Rp. 1000 akan diganti Rp. 1 baru. Akibatnya inflasi tak terkendali dan segera melonjak 650% dan Bung Karno dipaksa untuk mengeluarkan Supersemar 11 Maret 1966 yang semakin mengukuhkan pemberontakan Soeharto sejak menolak dipanggil ke Halim oleh Panglima Tertinggi pada 1 Oktober 1965.
21 Agustus 1971
[sunting | sunting sumber]Terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto (Orde Baru) melalui Menkeu Ali Wardhana. AS pada 15 Agustus 1971 harus menghentikan pertukaran dollar dengan emas. Presiden Nixon cemas dengan terkurasnya cadangan emas AS jika dollar dibolehkan terus ditukar emas, dimana 1 troy onz emas = US$ 34.00. Maka untuk menjaga cadangan emas AS, pemerintah AS menghapuskan sistem penilaian dollar yang dikaitkan dengan emas. Soeharto yang sangat tergantung dengan AS mati kutu dan tidak bisa mengelak dari dampak gebrakan Nixon dan Indonesia mendevaluasi Rupiah pada 21 Agustus 1971 dari Rp. 378 menjadi Rp. 415 per 1 US$.
15 November 1978
[sunting | sunting sumber]Masa Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Ali Wardhana. Walaupun Indonesia mendapat rezeki kenaikan harga minyak akibat Perang Arab - Israel 1973, tetapi Pertamina justru nyaris bangkrut dengan utang US$ 10 miliar dan Ibnu Sutowo dipecat pada 1976. Tetap tidak bisa dihindari devaluasi kedua oleh Soeharto pada 15 November 1978 dari Rp. 415 menjadi Rp. 625 per 1 US$.
30 Maret 1983
[sunting | sunting sumber]Masa Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Radius Prawiro. Pada saat itu Menkeu Radius Prawiro mendevaluasi rupiah 48% jadi hampir sama dengan menggunting nilai separuh. Kurs 1 dolar AS naik dari Rp 702,50 menjadi Rp 970.
12 September 1986
[sunting | sunting sumber]Masa Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Radius Prawiro. Pada 12 September 1986 Radius Prawiro kembali mendevaluasi rupiah sebesar 47%, dari Rp 1.134 ke Rp 1.664 per 1 dolar AS. Walaupun Soeharto selalu berpidato soal tidak ada devaluasi, tapi sepanjang pemerintahannya telah terjadi empat kali devaluasi.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-13. Diakses tanggal 2010-08-08.