Lompat ke isi

Keraton Banjar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Keraton Banjar adalah istana kenegaraan sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Banjar. Menurut Hikayat Banjar istana yang pertama kali dibangun diperuntukkan untuk Ampu Jatmika, yang dianggap cikal bakal raja-raja Banjar.[1]

Sampai saat ini lokasi-lokasi keraton dan wujud keraton Banjar tidak dapat diketahui dengan pasti, sebab tidak adanya data yang lengkap. Sebagai bekas negara terbesar di bagian selatan Borneo pada masa kejayaannya, tentunya Kesultanan Banjar memiliki pusat pemerintahan yang cukup baik. Keberadaan Keraton Banjar yang sudah punah, salah satunya dikarenakan pertentangan dan konflik dengan Belanda. Sikap Kesultanan Banjar dan orang Banjar pada umumnya yang tidak mau tunduk kepada kemauan Belanda.

Berdasar catatan sejarah, diketahui bahwa di Kalimatan Selatan pernah berdiri sebuah kerajaan yang besar yaitu kerajaan Banjar (1526–1905). Pada puncak masa kejayaannya, kerajaan Banjar memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, mencakup hampir sebagian besar pulau Kalimantan sekarang. Namun demikian hingga kini tidak diketahui lagi bagaimana keberadaannya, baik lokasi maupun bentuk arsitektur istana kerajaan Banjar.[2]

Penelitian mengenai rekonstruksi keraton Banjar sudah pernah dilakukan (Kasnowihardjo, dkk.2006; Muchamad, 2006a, 2006b), namun terbatas pada masa kerajaan Banjar saat berada di Kuin (1526–1612). Berdasar penelusuran sisa-sisa reruntuhan yang didominasi susunan batu bata, maka hasil studi rekonstruksi menunjukkan bahwa keraton pertama kerajaan Banjar tersebut sangat dipengaruhi kebudayaan kerajaan Negara Daha. Diyakini bentukan istana tersebut juga merupakan sebuah “bangunan” bekas peninggalan kerajaan Negara Daha. Sedangkan keraton kerajaan Banjar setelah masa tersebut (1612-1905), yaitu saat di daerah Batang Banyu, daerah Kayu Tangi, daerah Bumi Selamat, daerah Cempaka, dan terakhir di daerah Sei Mesa tidak pernah diketahui. Peristiwa perpindahan pusat pemerintahan kerajaan Banjar sendiri terjadi akibat pertikaian dengan bangsa Belanda yang dipicu oleh pertikaian dagang. Dan selama masa pertikaian tersebut, setidaknya keraton kerajaan berpindah sebanyak 5 kali. Akibat pertikaian ini, berakhir dengan dikeluarkannya pengumuman penghapusan kerajaan Banjar pada 11 Juni 1860, yang ditandatangani oleh Residen Surakarta F.N. Nieuwenhuijzen yang merangkap Komisaris Pemerintahan Belanda untuk afdeling Selatan dan Timur Kalimantan (Ideham, 2003). Penelitian terakhir yang telah dilaksanakan oleh Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan (Muchamad, 2009) difokuskan pada upaya mencari lokasi untuk rekonstruksi keraton kerajaan Banjar yang sesuai dari aspek kesejarahan dan pelestarian pusaka saujana budaya.[3][4]

Keraton Kuin Tahun 1520

[sunting | sunting sumber]
Rumah Bubungan Tinggi merupakan type untuk Dalem Sirap (kedhaton hunian Sultan Banjar), salah satu bangunan di dalam kompleks keraton.

Keraton pertama dibangun di Banjarmasih (Kuin). Banjarmasih terletak di antara sungai-sungai:

  • Sungai Barito dengan anak sungai Sigaling, sungai Pandai dan sungai Kuyin
  • Sungai Kuin dengan anak-anak sungai Karamat, Jagabaya dan sungai Pangeran (Pageran).

Sungai-sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan sungai Pandai ini pada hulunya di darat bertemu dan membentuk sebuah danau kecil bersimpang lima, daerah inilah yang nanti menjadi ibu kota Kesultanan Banjar yang pertama.

Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton. Rumah tersebut diperluas dengan dibuat Pagungan (gedung gamelan/senjata), Sitiluhur (Siti Hinggil) dan Paseban.

Menurut Bani Noor Muhammad dan Namiatul Aufa dalam Melacak Arsitektur Keraton Banjar, beranggapan lokasi keraton berada pada Komplek Makam Sultan Suriansyah saat ini.

Gambaran Kota Banjarmasin kuno menurut M. Idwar Saleh adalah sebagai berikut:

  • Kompleks keraton terletak antara sungai Keramat dengan sungai Jagabaya, daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton.
  • Istana Sultan Suriansyah berupa Rumah Bubungan Tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk rumah Betang dengan bahan utama dari pohon ilayung.
  • Antara istana dengan sungai terletak jalan, dan dipinggir sungai terdapat tumpukan bangunan di atas air yang dijadikan sebagai kamar mandi dan jamban.
  • Di sebelah sungai Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur= sebutan Siti Hinggil di keraton Banjar dan Banten.
  • Mendekati sungai Barito dengan Muara Cerucuk terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw seorang Gujarat yang bergelar Ratna Diraja.
  • Di seberang sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.
  • Pada tempat dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas tebing, di samping pasar yang umum saat itu di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari perdagangan orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air.
  • Menyeberang sungai Singgaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung, merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan tiap Senin atau Senenan.
  • Di sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap.
  • Di seluruh Sungai Kuyin, sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal di rumah-rumah rakit, dan sebagian lagi tinggal di rumah betang di darat.
  • Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah.
  • Jumlah penduduk mencapai 15.000 orang setelah orang-orang Daha diangkut ke ibu kota kerajaan yang baru.

Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah Lanting (rumah rakit) hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu (bahasa Banjar:pelupuh) dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi. Menurut Willy kota Tatas (Banjarmasin) terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk rumah hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan lainnya dihubungkan dengan titian. Alat angkutan utama adalah jukung atau perahu. Selain rumah-rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah rakit yang diikat dengan tali rotan pada pohon besar di sepanjang tepi sungai.

Keraton Pemakuan Tahun 1622

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1612 keraton Keraton Kuin di Banjarmasih mendapat serangan dari VOC-Belanda, tempat tinggal Sultan hancur, sehingga pusat pemerintahan Kesultanan Banjar dipindahkan oleh Sultan Mustain Billah Raja Banjar IV ke arah hulu sungai Martapura, tepatnya di Pemakuan, sambil menyiapkan keraton baru di Amuntai, namun saat pembangunan keraton Amuntai sudah digarap tetapi belum rampung, keraton Amuntai dibatalkan didiami karena Sultan Mustain Billah (Marhum Panembahan) mendapat mimpi bahwa Pangeran Suryanata (leluhur raja-raja Banjar) melarangnya menjadikan kota Amuntai sebagai ibu kota kembali karena negeri lawas itu sudah rusak (Hikayat Banjar).


Keraton Muara Tambangan Tahun 1632

[sunting | sunting sumber]

Sekitar 10 (sepuluh) tahun di Pemakuan, pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke Muara Tambangan pada sekitar tahun 1632. Beberapa menteri kerajaan wafat tatkala di Muara Tambangan seperti Kiati Wiradura dan Kiai Tisna Dikara.

Keraton Batang Banyu Tahun 1642

[sunting | sunting sumber]

Sekitar 10 (sepuluh) tahun di Muara Tambangan, pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke Batang Banyu pada sekitar tahun 1642. Beberapa menteri kerajaan telah wafat tatkala di Batang Banyu seperti Kiai Tisna Dimarta.

Keraton Martapura Lama tahun 1652

[sunting | sunting sumber]

Setelah 10 tahun di Batang Banyu, pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke lokasi baru tidak jauh dari Batang Banyu, jaraknya sepenglihatan dari lokasi lama. Sebagian bangsawan masih tinggal di Batang Banyu seperti Raden Zakaria (adik Sultan Rahmatullah Raja Banjar 3) dan Raden Aria Sagara (adik Sultan Mustain Billah Raja Banjar 4). Beberapa menteri wafat tatkala mula-mula naik di Martapura seperti Kiai Anggamarta. Keraton baru ini dinamakan Martapura (1652).

Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan:[5]

Marhum Panambahan hilang sepuluh hari lamanya. Dicari orang ke hulu ke hilir, ke darat ke laut, tiada dapat. Gelabah hati orang sekaliannya itu. Waktu tengah malam datang itu. Sudah siang hari itu Gadungsalat disuruh Marhum Panambahan memanggil Pangeran Mangkunagara, Pangeran Mancanagara dan Kiai Jayanagara itu. Sama datang itu, disuruh menebas segala kayu dara itu - padang itu, akan tempat masjid dan tempet pe-dalem-an, tempat alun-alun. Sudah itu maka disuruh tebas oleh Pangeran Mancanagara itu. Sudah itu masjid yang dipindah itu. Sudah jadi masjid itu, pada waktu hari Jumaat itu Marhum Panambahan sembahyang, sekaliannya menteri-menteri dan para raden dan Pangeran Mangkunagara, Pangeran Mancanagara, Dipati Ngganding sama sembahyang itu. Sudah itu pangandika Marhum Panambahan: "Sadanglah aku sepuluh hari mengelilingi alkah Banjarmasih ini tiada yang baik akan tempet negeri, hanya tanah rabat padang ini. Baik, bertuah, jika ada orang hendak mengalahkan tiada kalah dahulunya. Dengan patulung Allah serta berkat syafa'at Nabi Muhammad Rasul Allah itu sukar tempat seteru mendatangi, karena tempat negeri ini baik tapak udar naganya itu lawan muhara-halangan itu. Negeri ini aku namai Martapura. Maka anak cucuku atau buyutku menjadi raja tetap ia di Martapura ini insya-Allah Ta'ala sempurna kerajaannya. Maka lamun ia meninggal Martapura ini diam kepada tempat lain insya-Allah Ta'ala kepada rasaku binasa kerajaannya; haru-hara itu tiada keruan. Banyak tiada tersebutkan. Sudah itu itu pedaleman pula ditajak itu. Maka sekaliannya pindah ke Martapura itu. Raden Zakaria lawan Raden Aria Sagara itu masih diam di Batang Banyu itu, tetapi sepenglihatan jauhnya itu. Lamanya diam Marhum Panambahan di Batang Banyu itu sepuluh tahun, tumuli pindah ke Martapura itu.[5]

Raja-raja yang memerintah di keraton Martapura Lama:

  1. Sultan Mustain Billah Raja Banjar IV
  2. Sultan Inayatullah (Ratu Agung) Raja Banjar V
  3. Sultan Saidullah (Ratu Anom) Raja Banjar VI
  4. Sultan Rakyatullah Raja Banjar VII (wali Sultan Amrullah Bagus Kasuma)

Keraton Sungai Pangeran di Banjarmasin Tahun 1663-1679

[sunting | sunting sumber]

Tahun 1660 Sultan Saidullah Raja Banjar VI mangkat, sementara Putra Mahkota Raden Bagus (Suria Angsa) masih kecil, sehingga mangkubumi ditunjuk oleh Dewan Mahkota sebagai Pemangku Raja atau temporary king dengan gelar di atas tahta Sultan Rakyatullah. Setelah 3 tahun menjabat Pemangku Raja, timbul gejolak di istana, karena Pangeran Dipati Anom II (adik Sultan Saidullah Raja Banjar VI) berkeinginan mengambil alih jabatan Sultan Rakyatullah sebagai temporary king atau Pemangku Raja. Pangeran Dipati Anom II berhasil mengambil alih perangkat kerajaan dan prajurit kerajaan, ia memindahkan pusat pemerintahan ke Sungai Pangeran di Banjarmasin pada tahun 1663 dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Banjar dengan sebutan Sultan Dipati Anom atau Pangeran Suryanata 2 yang memerintah di Banjarmasin (1663-1679). Sementara sebelum turun tahta di Martapura pada tahun 1663 Sultan Rakyatullah juga sempat melantik putra mahkota Raden Bagus menjadi Sultan Banjar dengan gelar Sultan Amrullah Bagus Kasuma (Suria Angsa).

Keraton Kayu Tangi Tahun 1679-1771

[sunting | sunting sumber]

Tahun 1679, keraton Sultan Dipati Anom (Pangeran Suryanata 2) di Sungai Pangeran di Banjarmasin diserang oleh Pangeran Suria Angsa (Sultan Amrullah Bagus Kasuma) dan Pangeran Suria Negara, keduanya merupakan putera dari Sultan Saidullah (Sultan Ratu Anom) Raja Banjar VI. Serangan ini dibantu para pedagang Portugis. Serangan ini menyebabkan tewasnya Sultan Dipati Anom dan puteranya yang bernama Pangeran Dipati.

Menurut George Bryan Souza (2004:126) dalam "The Survival of Empire: Portuguese Trade and Society in China and the South China Sea 1630-1754".[6]

The Portugues from Macao were already trading when the VOC arrived at Banjarmasin in 1679 intent upon securing that trade and ousting Macao's country trader from that market.

The ambitions of the Portuguese country traders involved in this market were greather than VOC firstimagined. The Company learnt that on account of an internal power struggle, Sultan Dipati Anom was challenged by his nephews, Sultan Ratu's two sons, Suria Angsa and Suria Negara, and Portuguese aid had been enlisted by the insurgents against Sultan Dipati Anom. The Portuguese from Macao were embarked upon their first attempt to establish their monopoly over Banjarmasin's pepper production.

The Portuguese policy of intervention and supporting Sultan Dipati Anom's overthrow was eventually successful with Suria Angsa becoming Sultan and the Portuguese obtaining commercial privileges. These commercial privileges did not amount to a monopoly but sufficiently upset the VOC, which was already displeased with Banjarmasin's interminable political unrest, that the Company ceased to trade at Banjarmasin in 1681; the VOC was convinced that it could secure additional pepper stocks from increased production at Palembang and Bantam.

(Orang-orang Portugis dari Makau sudah berdagang ketika VOC tiba di Banjarmasin pada tahun 1679 dengan maksud mengamankan perdagangan itu dan mengusir pedagang negara Makao dari pasar itu.

Ambisi para pedagang negara Portugis yang terlibat dalam pasar ini lebih besar daripada yang dibayangkan oleh VOC. Kompeni mengetahui bahwa karena perebutan kekuasaan internal, Sultan Dipati Anom ditantang oleh kedua keponakannya, dua putra Sultan Ratu, Suria Angsa dan Suria Negara, dan bantuan Portugis telah didaftar oleh pemberontak melawan Sultan Dipati Anom. Portugis dari Macao memulai upaya pertama mereka untuk memonopoli produksi lada Banjarmasin.

Kebijakan intervensi Portugis dan mendukung penggulingan Sultan Dipati Anom akhirnya berhasil dengan Suria Angsa menjadi Sultan dan Portugis memperoleh hak-hak komersial. Hak-hak komersial ini tidak sama dengan monopoli tetapi cukup mengecewakan VOC, yang sudah tidak senang dengan kerusuhan politik tak berkesudahan Banjarmasin, bahwa Perusahaan berhenti berdagang di Banjarmasin pada tahun 1681; VOC yakin bahwa itu dapat mengamankan stok lada tambahan dari peningkatan produksi di Palembang dan Banten.

)

[6]

Pangeran Suria Angsa (Sultan Amrullah Bagus Kasuma) kemudian membangun keraton baru di Kayu Tangi sehingga ia disebut Sultan dari Kayu Tangi, sedangkan bekas keraton lama di Martapura menjadi milik adiknya, Pangeran Suria Negara.

James Cook (1790:288) meulis dalam "A Collection of Voyages Round the World: Performed by Royal Authrity. Containing a Complete Historical Account of Captain Cook's First, Second, Third and Last Voyages, Undertaken for Making New Discoveries, &c. ... To which are Added Genuine Narratives of Other Voyages of Discovery Round the World, &c. Viz. Those of Lord Byron, Capt. Wallis, Capt. Carteret, Lord Mulgrave, Lord Anson, Mr. Parkinson, Capt. Lutwidge, Mess. Ives, Middleton, Smith, &c. &c...".

Di bagian pedalaman negara ini, ada beberapa kerajaan kecil, yang masing-masing diperintah oleh rajah, atau raja. Semua raja sebelumnya tunduk pada raja Borneo, yang dianggap sebagai raja tertinggi di seluruh pulau; tetapi wewenangnya dari tahun-tahun terakhir telah sangat berkurang; dan ada raja-raja lain yang sederajat, jika tidak lebih kuat dari dirinya sendiri; khususnya raja Caytonge (Kayu Tangi). Kota di mana pangeran ini berada terletak sekitar 80 mil di atas Sungai Banjar. Istana-Nya adalah sebuah bangunan yang sangat elegan yang didirikan pada pilar-pilar, dan terbuka di semua sisi. Sebelum istana adalah sebuah bangunan besar, yang hanya terdiri dari satu ruangan, yang dirancang khusus untuk mengadakan dewan, dan menjamu orang asing. Di tengah ruangan adalah takhta, ditutupi dengan kanopi kaya brokat emas dan perak. Tentang istana ditanam beberapa meriam, yang sudah sangat tua, dan dipasang di gerbong-gerbong celaka seperti itu, sehingga mereka tidak hias atau berguna. Pangeran ini dihormati sebagai yang terbesar, karena kebiasaan yang ia terima di pelabuhan Banjar Masseen (Banjarmasin), yang diperkirakan 8000 buah delapan per tahun. Raja atau Sultan Negaree adalah pangeran yang paling bisa dipercaya, di samping yang di atas: istananya terletak di sebuah tempat bernama Metapoora (Martapura), sekitar 10 mil dari Caytonge. Ada gudang senjata yang tampan di depan gerbang istananya, yang berisi sejumlah besar senjata api, dan beberapa meriam. Dia selalu berhubungan baik dengan tetangganya, pangeran Caytonge, dan sisanya adalah bawahan kedua pangeran ini; Penghormatan besar diberikan kepada mereka oleh penduduk asli, dan sulit bagi orang asing untuk mendapatkan akses kepada mereka: satu-satunya cara untuk melakukan ini adalah dengan memuji mereka dengan hadiah yang berharga, karena ketamakan adalah hasrat kesayangan mereka; dan orang asing itu akan diperlakukan dengan hormat sesuai dengan proporsi yang ia berikan.

[7][8]

John Andreas Paravicini utusan yang dikirim VOC untuk audiensi dengan Sultan Sepuh (Tamjidullah 1) dan putera kesayangannya Pangeran Wira Nata (Sulaiman Saidullah 1/Sunan Nata Alam), saat itu menulis laporannya tentang keraton Sultan di Kayu Tangi: .....mula-mula barisan tombak berlapis perak, di belakangnya barisan tombak berlapis emas. Anggota penyambut mengiringi saya dan tiba di bahagian pertama kraton, dengan diiringi dentuman meriam dan musik yang merdu. Kemudian diiringi lagi oleh pengawal merah bersenjatakan perisai dan pedang. Setelah tiba di bahagian kedua kraton, disambut musik yang merdu serta diterima oleh pengawal yang lebih besar, dan diantarkan oleh pasukan pengawal biru ke bahagian kraton yang merupakan ruang menghadap. Tidaklah dapat dilukiskan keindahan yang dipamerkan dalam upacara ini. Ruang menghadap yang dinding-dinding dan lantai-lantainya ditutup dengan permadani keemasan, juga piring-piring mangkok hingga tempat ludah dari emas. Tempat sirih dan bousette dari emas yang dihiasi yang tak ada bandingnya. Barisan pengawal pribadi Sultan. Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan. Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas, dan akhirnya mahkota kerajaan Banjar yang terletak di samping Sultan, di atas bantal-bantal beledru kuning yang dihiasi dengan rumbai-rumbai hingga membuat seluruhnya suatu pemandangan yang mengagumkan di dunia. Raja-raja yang memerintah di keraton Martapura:

  1. Sultan Suria Angsa/Amrullah Bagus Kasuma Raja Banjar
  2. Sultan Tahmidullah (Panembahan Kuning) Raja Banjar
  3. Sultan Hamidullah (Sultan Kuning) Raja Banjar
  4. Sultan Tamjidullah 1 Raja Banjar
  5. Sultan Muhammad/Tahmidillah 1/Tahmid Billah Raja Banjar
  6. Sultan Tahmidillah 2 (Panembahan Batuah) Raja Banjar

Keraton Bumi Kencana (Martapura Baru) Tahun 1771-1860

[sunting | sunting sumber]
Litografi kompleks keraton Banjar Bumi Selamat (d/h Bumi Kencana) di Martapura pada tahun 1843

Tahun 1766 keraton baru didirikan di Martapura. Beberapa tukang ukir didatangkan dari Jawa untuk mengukir bagian-bagian istana (Amir Hasan Kiai Bondan 1953:30). Sebelumnya Martapura dikenal merupakan tempat kedudukan Pangeran Suria Negara (adik Suria Angsa, Sultan dari Kayu Tangi). Pada Tahun 1771, Sunan Sulaiman Saidullah I (Sunan Nata Alam) meresmikan pememindahan keraton Banjar dari Kayu Tangi ke Martapura yang diberi nama negeri Bumi Kencana (Martapura Baru).

Pemindahan pusat pemerintahan kerajaan Banjar dari keraton Kayu Tangi ke keraton Bumi Kencana diberitakan dalam laporan pelaut Inggeris dalam buku "Notices of the Indian archipelago & adjacent countries: being a collection of papers relating to Borneo, Celebes, Bali, Java, Sumatra, Nias, the Philippine islands", menyebutkan:[9]

The Dutch fort is situated on the outside of the town oi Banjarmassing or Tatas, at a place named C'ayang on the west of the river. It was of pentagonal form and fortified with palisades, with three bulwarks towards 'he river, and two to - aids the land. Banjar is under the immediate authority of the sultan's eldest son, who has the title of Pangerang Dupa. The residence of the sultan was at. Kayu Tangi previous to the year 1771, when it was removed by Sultan Soliman Shahid Alia to Martapura. about three days journey up the river. This is a fine hunting station, as the name seems to indicate, and the sultan and his court are said to be greatly devoted to this amusement, which they pursue on horseback, and catch deer with nooses. Large horses are accordingly in high request at Banjar. (Benteng Belanda terletak di luar kota Banjarmassing atau Tatas, di sebuah tempat bernama C'ayang di sebelah barat sungai. Itu adalah bentuk pentagonal dan dibentengi dengan pagar, dengan tiga benteng menuju sungai, dan dua untuk membantu tanah. Banjar berada di bawah wewenang langsung putra sulung sultan, yang memiliki gelar Pangeran Dupa. Tempat tinggal sultan berada di. Kayu Tangi sebelum tahun 1771, ketika itu dihapus oleh Sultan Soliman Shahid Alia ke Martapura. sekitar tiga hari perjalanan menyusuri sungai. Ini adalah stasiun perburuan yang bagus, seperti namanya, dan sultan dan istananya dikatakan sangat mengabdi pada hiburan ini, yang mereka kejar dengan menunggang kuda, dan menangkap rusa dengan jerat. Kuda besar sesuai permintaan tinggi di Banjar.)

Balai Seba adalah sebuah bangunan dalam kompleks keraton Bumi Kencana yang dibangun tahun 1780 oleh Panembahan Batuah dengan ukuran lebar 50 kaki, panjang 120 kaki dan tinggi 25 kaki.[10][11]

Tentang perubahan nama Keraton Bumi Kencana menjadi keraton Selamat dapat dibaca pada perjanjian antara Kerajaan Banjar dengan Belanda pada tanggal 11 Agustus 1806. Ini hormat sudah kita sempurnakan serta kita patrikan tiap-tiap dimana tempat paseban Dalam negeri Bumi kintjana jang sekarang ganti nama Bumi Selamat. Sebelas hari dari bulan Agustus tahun seribu delapan ratus enam

Raja-raja yang memerintah di keraton Bumi Kencana/Bumi Selamat:

  1. Sunan Sulaiman Saidullah 1/Sultan Tahmidullah 2 (Panembahan Batuah) Raja Banjar
  2. Sultan Sulaiman Al-Mu'tamidullah/Sulaiman Rahmatullah Raja Banjar
  3. Sultan Adam Alwatsiq Billah Raja Banjar
  4. Sultan Tamjidullah 2 Alwatsiq Billah Raja Banjar

Keraton ini dibongkar tahun 1277 Hijriyah (atau 1860 M) dan balok-balok besar dipakai untuk membangun sub pilar jembatan sungai Basirih.[12]

Keraton Sungai Mesa, Banjarmasin Tengah

[sunting | sunting sumber]

Selain istana kenegaraan yang terdapat di Martapura, bersamaan itu pula terdapat keraton ke-2 (istana peraduan) yang terletak di Banjarmasin yang merupakan istana kediaman Putra Mahkota (putra sulung).

Berdekatan dengan Kampung Melayu terdapat Kampung Keraton yang kemudian namanya diubah menjadi Kampung Sungai Mesa yang didirikan oleh Kiai Maesa Jaladri alias Anang putera Tumenggung Suta Dipa. Di kampung Sungai Mesa terdapat kediaman Menteri Besar Kiai (Mesa) Maesa Jaladri, istana Sultan (Sultan Adam), Balai Kaca, dan istana Sultan Tamjidullah II (istana peninggalan Sultan Muda Abdul Rahman). Berseberangan sungai dengan istana Sultan Tamjidullah II terdapat rumah Residen di Kampung Amarong, yang di sebelah hilirnya terdapat benteng Tatas. Kampung Amarong (bekas kantor gubernur Kalsel) merupakan kampung terbesar di seberang Kampung Sungai Mesa pada saat itu.[13][14]

  • Bani Noor Muhammad dan Namiatul Aufa, Melacak Arsitektur Keraton Banjar, Desember 2006.


Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ (Indonesia) Sejarah seni rupa Indonesia. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 102.  ISBN
  2. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-08-19. Diakses tanggal 2014-08-18. 
  3. ^ http://www.academia.edu/2097093/MELACAK_ARSITEKTUR_KERATON_BANJAR
  4. ^ (Indonesia) Bani Noor Muhammad; Namiatul Aufa (1 Desemeber 2006). MELACAK ARSITEKTUR KERATON BANJAR (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-05-17. Diakses tanggal 2019-01-13. 
  5. ^ a b (Melayu)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
  6. ^ a b (Inggris) George Bryan Souza (2004). The Survival of Empire: Portuguese Trade and Society in China and the South China Sea 1630-1754. Cambridge University Press. hlm. 126. ISBN 0-521-53135-7.  ISBN 9780521531351
  7. ^ (Inggris) James Cook (1790). A Collection of Voyages Round the World: Performed by Royal Authrity. Containing a Complete Historical Account of Captain Cook's First, Second, Third and Last Voyages, Undertaken for Making New Discoveries, &c. ... To which are Added Genuine Narratives of Other Voyages of Discovery Round the World, &c. Viz. Those of Lord Byron, Capt. Wallis, Capt. Carteret, Lord Mulgrave, Lord Anson, Mr. Parkinson, Capt. Lutwidge, Mess. Ives, Middleton, Smith, &c. &c... Printed for A. Millar, W. Law, and R. Cater. hlm. 1102. 
  8. ^ (Inggris) Thomas Bankes, Edward Warren Blake, Alexander Cook, Thomas Lloyd (1800). A New, Royal, and Authentic System of Universal Geography, Antient and Modern: Including All the Late Important Discoveries ... and a Genuine History and Description of the Whole World ... Together with a Complete History of Every Empire, Kingdom, and State ... to which is Added a Complete Guide to Geography, Astronomy, the Use of the Globes, Maps ... C. Cooke, No 17, Pater-noster Row. hlm. 288. 
  9. ^ (Inggris) J. H. Moor (1837). "Notices of the Indian archipelago & adjacent countries: being a collection of papers relating to Borneo, Celebes, Bali, Java, Sumatra, Nias, the Philippine islands". F.Cass & co.: 99. 
  10. ^ (Indonesia) Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh sedjarah Kalimantan, Penerbit Fadjar, 1953
  11. ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19. PT Balai Pustaka. hlm. 114. ISBN 9794074101. [pranala nonaktif permanen]ISBN 978-979-407-410-7
  12. ^ Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1864). "Notulen van de Directievergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen" (dalam bahasa Belanda). 1. Lange & Company: 316. 
  13. ^ (Indonesia) H. Ramli Nawawi, Tamny Ruslan, Yustan Aziddin, Sejarah kota Banjarmasin Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986
  14. ^ (Indonesia) Mohamad Idwar Saleh, Banjarmasih: sejarah singkat mengenai bangkit dan berkembangnya kota Banjarmasin serta wilayah sekitarnya sampai dengan tahun 1950, Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan, Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982

Pranal luar

[sunting | sunting sumber]