Lompat ke isi

Seni tradisional Dayak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Seni tradisional Dayak adalah kesenian tradisional masyarakat Dayak yang berhubungan dengan latar belakang budaya yang masih terpelihara di antara sub-suku Dayak secara umum. Dayak sendiri merupakan sebutan bagi penduduk asli Pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan terbagi berdasarkan wilayah administratif yang mengatur wilayahnya. Masing-masing pembagian wilayah terdiri dari Kalimantan Timur dengan ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarbaru, Kalimantan Tengah dengan ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat dengan ibu kotanya Pontianak.

Kelompok suku Dayak terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 suku.[1] Masing-masing sub-suku Dayak di Pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap permukiman mereka.

Pembagian etnis

[sunting | sunting sumber]

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya "Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat", terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub-suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar, seperti Melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.

Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam, dan lain sebagainya. Misalnya suku Iban, asal katanya dari "ivan" (dalam bahasa Kayan, ivan: pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari Sungai Batang Lupar yang terletak di perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani ("manok sabung"/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak Sungai Ketungau di Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Suku Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuaq, Ngaju, Bakumpai, dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.

Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.

Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas etnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah etnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dan lain-lain. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah tetap mempertahankan nama suku Dayak namun meninggalkan adat dan ritual agama leluhur Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan adalah Kaharingan yang sudah ada bahkan sebelum bangsa Indonesia mengenal agama Hindu. Dikarenakan pemerintah tidak mengakui agama Kaharingan, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu karena dianggap ada kemiripan.

Provinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses akulturasi kultural atau perpindahan suatu kultur religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak, Melayu, dan Tiongkok. Pada mulanya, bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari Gujarat beragama Islam dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang pada masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.

Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab serta Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu sistem religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada pemerintahan Giri Kusuma yang merupakan Kerajaan Melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.

Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa, dan lain-lain. Untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana (Dayak Mualang) adalah penguasa tanah, Raja Juata (penguasa Air), Kama Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyan'gh (Dayak Mali), dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme dan budaya aslinya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh ke pedalaman.

Adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi Kristen ke pedalaman). Pada umumnya, masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku Dayak sama dengan suku Melayu karena umumnya setelah masuk Islam mereka mulai mengikuti adat dan budaya Melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) pada masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku Dayak yang masuk Islam (karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku Melayu. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah ke agama Islam, agama Islam lebih identik dengan suku Melayu dan agama Kristen atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak. Sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik lokal maupun nusantara lainnya.

Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang Melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil). Penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun adakalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.

Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari etnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani.

Berdasarkan wilayah penyebaran di Kalimantan Barat

[sunting | sunting sumber]
Seorang pria dengan busana adat Dayak.

Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4 kelompok besar, 1 kelompok kecil yakni:

  • Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.mempunyai gerak tari, enerjik, stakato, keras.
  • Ribunic / Jangkang Grop/ Bidoih / Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus.
  • Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.
  • Banuaka" Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirip kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih halus.
  • Kayaanik, punan, bukat dll.

Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali / ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah kab. ketapang. kemudian Dayak Kabupaten Ketapang,Daerah simpakng seperti Dayak Samanakng dan Dayak Kualan, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb.

Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo/Damea, Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal(mayoritas tanah pinoh;antara lain desa ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll)dayak Kebahan (antara lain desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai mangat,nyanggai,nanga raya dll), dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang (antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum (masuk kelompok kal-teng), Leboyan.

Asal Muasal Tari Dayak Ajat Temuai Datai

[sunting | sunting sumber]

"Ajat Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic Group), yang tidak dapat diartikan secara langsung, karna terdapat kejanggalan jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya Ajat adalah Persembahan/Permohonan dengan menggelar ritual atau Upacara adat, kemudian Temuai artinya: tamu, Datai artinya: kita Datang. Jika disesuaikan dengan maksud tarian yaitu: Tari yang didalamnya terdapat Upacara Adat dalam prosesi menyambut tamu atau Tari Menyambut tamu. bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan/masa lampau, di antara kelompok-kelompok suku Dayak. Mengayau, berasal dari kata me dan Ngayau. Me berarti melakukan aksi, Ngayau: pemenggalan kepala musuh, tindakan memenggal kepala musuh (Mengayau terdapat dalam bahasa Dayak Iban dan Ibanik, juga pada masyarakat Dayak pada umumnya). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya (mengayau terdiri dari berbagai macam adatnya di antaranya Kayau banyau/ramai/serang, Kayau Anak yaitu: Mengayau dalam kelompok kecil, Kayau Beguyap yaitu: Mengayau tidak lebih dari tiga orang. Pada masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari pengayauan dan membawa bukti hasil Kayau berupa kepala manusia (musuh), merupakan tamu yang diagungkan serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi si empunya dan sukunya.[2], ada empat tujuan dalam mengayau yakni: untuk melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak Mualang disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih!, sebanyak tujuh kali yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar mempersiapkan acara penyambutan. Proses penyambutan ini, melalui empat babak yakni:

  • 1. Ngunsai Beras (menghamburkan beberapa beras di depan para Bujang Berani/Ksatria/Pahlawan, sambil membacakan doa melalui perantaraan Sengalang Burong),
  • 2. Mancong Buloh yaitu; Menebaskan Mandau/Nyabor untuk memutuskan bambu yang sengaja dilintangkan atau di empang di pintu masuk wilayah rumah panjai.
  • 3 Ngajat Ngiring Temuai: menari mengiringi tamu ataupun memandu tamu sampai kedepan tangga naik Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan Ngajat Ngiring Temuai.
  • 4. Tama’ Bilik (memasuki rumah panjai) atau masuk ke tempat tertentu setelah merendam kakinya pada sebuah batu di dalam sebuah wadah sebagai simbol pencelap semengat , setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diizinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Semengat (mengembalikan semangat perang),[3] kemudian baru diadakan Gawai pala' acara ini untuk menghormati kepala hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa tarian yang disebut: Tari Ayun Pala, Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa Panglima / Tuwak Dayak Mualang masa lalu yaitu: Tuwak Biau Balau (pemimpin Kayau), Tuwak Pangkar Begili (Tidak Pernah Mundur).

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ (menurut J. U. Lontaan, 1975)
  2. ^ Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974)
  3. ^ (john Roberto P. 2002.ISI yogyakarta)