Silat Karo
Ndikar (baca; ndikkar) adalah seni bela diri dari daerah Karo, yang juga sering disebutkan dengan kata silat. Walaupun sebenarnya kata ndikar adalah terjemahan silat atau pencak silat ke dalam Bahasa Karo, tetapi dewasa ini orang Karo sendiri lebih sering memakai kata silat daripada kata ndikar, bahkan cenderung kata ndikar semakin jarang didengar atau diucapkan sehingga bagi sebagian kaum muda Karo kata ndikar merupakan kata yang asing diucapkan.
Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, ndikar juga merupakan olahraga bela diri tradisional khas dari daerah Karo yang memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dari daerah lain, sedangkan Pandikar adalah kata sebutan bagi orang-orang yang mendalami ilmu bela diri ini ataupun orang-orang yang memiliki ilmu bela diri ndikar (bandingkan pandikar dengan pendekar dalam bahasa Indonesia).
Ndikar dan Tari-tari Bintang
Dalam praktiknya ndikar sering juga dianggap sebagai tari-tarian biasa karena dalam setiap penampilannya dalam acara-acara tertentu pertunjukkan ndikar kerap diiringi dengan musik tradisional karo. Memang yang saya dengar sejak dari zaman dulu pertunjukan ndikar selalu dipertunjukkan dengan iringan musik, dan tarian ini juga merupakan salah satu dari tari tradisional suku Karo yang dikenal dengan nama Tari- Tari Bintang. Namun tarian ini bukanlah tari-tarian biasa yang gerakannya bisa dihafal dari awal sampai akhir dan tinggal dipraktikkan saja mengikuti alunan musik, tarian ini adalah suatu wadah dimana para pandikar menunjukkan apa yang dimilikinya atau apa yang dipelajarinya selama mengikuti sang guru atau dengan kata lain di dalam tarian ini sang pandikar berusaha menunjukkan seberapa dalam ilmu yang telah dimilikinya yang dalam hal ini ditunjukkan dalam sebuah gerakan tari-tarian, tentu saja hal ini membutuhkan suatu kemampuan yang cukup mumpuni dari sang pandikar. Seorang maestro tari pun sepertinya akan sulit mempertunjukkan tarian ini tanpa belajar bela diri ndikar, karena dalam tarian ini sama sekali tidak ada suatu gerakan baku yang bisa dihafal atau diikuti, teapi para penari atau para pandikar secara spontan harus membuat gerakan sendiri sesuai dengan gerakan atau jurus-jurus ndikar yang telah dikuasainya dengan mengikuti alunan musik.
Walaupun merupakan suatu tari-tarian, Tari-tari Bintang juga memberi kesempatan kepada para pandikar untuk saling meyerang dan bertahan. Dimana dalam pertunjukan ndikar dua orang akan ditampilkan untuk menunjukkan kemampuan masing-masing. Dengan alunan musik yang bertempo pelan diawali gerakan sembah para pandikar mulai menari dengan gerakan yang pelan atau normal mengikuti alunan musik, tahap ini bisa diibaratkan sebagai tahap pemanasan. Pada tahap ini para pandikar selain menari juga mulai berusaha untuk mencari celah atau mengintip kelemahan sang lawan. Tahap selanjutnya pemusik mulai menaikkan tempo musiknya sehingga pergerakan para pandikar juga semakin cepat sesuai dengan iringan musik, pada tahap inilah para pandikar mulai saling menyerang dan mengeluarkan kemampuam masing-masing dalam beberapa saat, biasanya pada tahap ini para penonton akan menyemangati para pandikar dengan teriakan dan juga memberikan aplaus bagi pandikar yang berhasil mencuri atau menyarangkan pukulan ketubuh lawan atau juga kepada pandikar yang pertahanannya sulit ditembus sang lawan. Selanjutnya musik berangsur mulai melambat dan kembali ke tempo awal, pergerakan sang pandikar juga ikut melambat dan akhirnya ditutup dengan gerakan sembah dari para pandikar.
Ndikar diambang kepunahan
Saat ini ndikar sangat jarang dipelajari atau diajarkan baik di Tanah Karo ataupun di luar Tanah Karo, sehingga kemungkinan suatu saat ndikar ini akan punah atau lenyap dari peradaban Suku Karo, sungguh suatu hal yang sangat disayangkan mengingat ndikar ini juga merupakan aset budaya Karo yang seharusnya dilestarikan untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang. Saat ini hanya segelintir orang-orang tertentu dan juga di desa-desa tertentu saja yang masih mengerti atau memiliki kemampuan untuk mempraktikkan gerakan atau jurus dalam ndikar, rata-rata orang-orang ini adalah orang-orang tua yang sudah mulai uzur. Meskipun mereka mempunyai beberapa murid namun terkesan ilmunya berhenti hanya sampai disitu saja tanpa ada generasi penerusnya.
Kurangnya minat anak-anak muda Karo untuk mempelajari ndikar juga ikut andil dalam semakin terpinggirkannya bela diri ndikar dari masyarakat Karo itu sendiri, memang bukan hal yang aneh jika produk lokal selalu kalah dari produk-produk import, Melalui tulisan ini saya untuk mencoba mengajak teman-teman para muda-mudi Karo khususnya, marilah kita kembali melihat kebawah ketempat kita berpijak, marilah bersama-sama kita kembangkan kembali seni bela diri ndikar ini yang merupakan peninggalan budaya asli nenek moyang kita sehingga kelak akan menjadi salah satu identitas kita suku Karo. Karena dengan mendalami ndikar ini selain ikut melestarikan budaya juga akan bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan raga kita.