Barongko
Barongko ᨅᨑᨚᨃᨚ | |
---|---|
Sajian | Hidangan penutup |
Tempat asal | Indonesia |
Daerah | Sulawesi Selatan |
Suhu penyajian | Panas atau dingin |
Bahan utama | Pisang kepok Telur Santan Gula pasir Garam |
Sunting kotak info • L • B |
Barongko merupakan makanan khas di Sulawesi Selatan khususnya bagi suku Bugis dan suku Makassar. Barongko artinya singkatan dari barangku kuroko (bahasa Makassar), yang artinya barangku sendiri yang kubungkus. Maksudnya, adonan yang bahan bakunya adalah pisang, juga dibungkus dengan daun pisang . Bahan adonan untuk membuat barongko terdiri dari pisang kepok yang dihaluskan, telur, santan, gula pasir, dan garam. Sedangkan bahan pembungkus adonan barongko adalah daun pandan dan daun pisang. Barongko dibuat melalui pengukusan.
Pada masa kerajaan-kerajaan suku Bugis dan suku Makassar, barongko hanya disajikan untuk para raja. Penyajiannya kemudian meluas ke masyarakat suku Bugis dan suku Makassar. Barongko disajikan sebagai camilan dalam upacara perkawinan adat dan upacara adat lainnya.
Barongko memiliki makna filosofis berkaitan dengan hubungan antara adonan dan pembungkusnya. Pemerintah Indonesia telah menetapkan barongko sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Bahan
[sunting | sunting sumber]Adonan
[sunting | sunting sumber]Bahan utama pembuatan barongko adalah pisang kepok yang telah dihaluskan. Pisang kepok kemudian dicampur dengan gula, santan dan telur.[1] Di masyarakat Kabupaten Bone, adonan barongko ditambahkan dengan irisan dari buah nangka yang sudah matang. Bahan tambahan ini disebut dengan nama panasa.[1]
Adonan untuk porsi sebanayak 20 bungkus barongko memerlukan 18 buah pisang kepok yang sudah matang. Kemudian ditambah dengan 500 ml santan. Santan dapat diperoleh dari sebutir kelapa. Adonan barongko untuk porsi ini juga memerlukan empat butir telur ayam, 190 ml susu kental manis, setengah sendok teh garam, dan 125 gram gula pasir.[2]
Pembungkus
[sunting | sunting sumber]Bahan lain yang disediakan adalah daun pandan sebanyak lima lembar yang dipotong seukuran 5 cm.[2] Adonan barongko dibungkus menggunakan daun pisang.[2] Setelah terbungkus, adonan lalu dikukus.[1]
Pembuatan
[sunting | sunting sumber]Pembuatan barongko untuk 20 bungkus memerlukan 6 buah pisang kepok. Pisang dipotong-potong seukuran dadu kecil. Setelah iti, pisang disisihkan. Sementara sisanya dipotong-potong dan dicampur dengan santan, telur, susu kental manis, garam dan gula pasir. Adonan ini kemudian dilumat hingga halus. Setelah halus, adonan dicampurkan dengan pisang kepok yang sudah dipotong-potong lalu diaduk rata.[2]
Dua lembar daun pisang digunakan untuk membungkus adonan barongko sebanyak 50 ml. Kemudian bagian luarnya ditambahkan daun pandan dan dibungkus dengan bentuk tum. Setelah itu, adonan yang terbungkus dikukus sekitar 30 menit sampai matang dan terasa padat. Setelah dikukus, barongko diangkat dan didinginkan.[2]
Waktu penyajian
[sunting | sunting sumber]Penyajian barongko berfungsi sebagai camilan.[3] Barongko pada awalnya merupakan sajian khusus bagi para raja pada masa kerajaan-kerajaan dari suku Bugis dan suku Makassar. Penyajiannya juga dilakukan pada pesta-pesta adat.[4]
Sebelum atau saat pesta perkawinan adat dimulai, barongko biasanya disajikan dalam bosara. Penyajiannya bersama dengan kue tradisional lainnya.[5] Masyarakat suku Bugis dan suku Makassar menjadikan barongko sebagai kue utama dalam upacara perkawinan adat.[1] Barongko disajikan sebagai salah satu kue utama dalam tradisi mappanre temme di masyarakat suku Bugis.[6]
Makna simbolis
[sunting | sunting sumber]Penggunaan daun pisang untuk membungkus adonan pisang memiliki makna filosofis. Ini bermakna bahwa yang terlihat di luar haruslah sama dengan yang terlihat di dalam. Istilah ini dalam pepatah Bugis disebut barakkumua udoko. Makna lainnya yaitu bahwa kebaikan akan tampak melalui perilaku yang baik pula.[4]
Penambahan irisan nangka (panasa) di dalam adonan barongko merupakan simbol pengharapan akan kelanggengan rumah tangga dari mempelai. Pemaknaan ini didasarkan kepada pepatah suku Bugis yaitu iyyana kuala sappo unganna panasae na belo kalukue. Pepatah ini berarti kuambil kejujuran dan kesucian sebagai pagar diri dalam rumah tangga.[4]
Penetapan sebagai warisan budaya
[sunting | sunting sumber]Barongko merupakan salah satu camilan asli Indonesia.[7] Pemerintah Indonesia telah menetapkan barongko sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Penetapannya melalui Surat Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60128/MPK.E/KB/2017.[1]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e Asis, Raodah dan Suryaningsih 2019, hlm. 103.
- ^ a b c d e Buleng, Apri (2016). 350 Resep Cake, Kue, & Roti. Jakarta Selatan: DeMedia Pustaka. hlm. 24. ISBN 978-979-082-279-5.
- ^ Zakariah, B., dan Tawali, A. B. (2004). "Peluang dan Tantangan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Lokal di Sulawesi Selatan" (PDF). Prosiding Seminar Nasional Pemantapan Road Map Penganekaragaman Pangan: Penganekaragaman Pangan: Konsep, Realitas dan Aplikasi. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan 2004: 69.
- ^ a b c Asis, Raodah dan Suryaningsih 2019, hlm. 104.
- ^ Hardi, Rudi (2020). Tangan Gaib Pembangunan Ekonomi Pesisir (PDF). Solok: Penerbit Mitra Cendekia Media. hlm. 108. ISBN 978-623-94322-6-3.
- ^ Erni, dkk. (2020). Qadaruddin, Muhammad, ed. Riset Budaya: Mempertahankan Tradisi di Tengah Krisis Moralitas. Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press. hlm. 37. ISBN 978-623-93262-4-1.
- ^ Satriyo, A., dkk. (2020). Esmeralda, F., Handy, F., dan Tania, M. G., ed. Aku Siap Hadapi Covid-19: Tetap Sehat dan Bahagia Saat Pandemi (PDF). Depok: Multisarana Multi Persada. hlm. 23. ISBN 978-623-940-162-7.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Asis, A., Raodah dan Suryaningsih, T. (2019). Kila, S., Amir, M., dan Iriani, ed. Kuliner Tradisional pada Upacara Adat di Sulawesi Selatan (PDF). Makassar: UPT UNHAS Press. ISBN 978-979-530-226-1.