Wayang kancil
Wayang kancil adalah wayang yang lakonnya kancil. Pada abad ke-15, Sunan Giri menciptakan wayang kancil sebagai media untuk menyiarkan agama Islam di pulau Jawa. Pada saat itu, wayang kancil tidak dapat berkembang pesat. Perkembangan mulai terjadi pada tahun 1925 saat dipopulerkan oleh seorang Tionghoa yang bernama Bo Liem.[1]
Wayang Kancil dibuat dari kulit kerbau yang dikeringkan dan kemudian dibentuk menjadi gambar wayang. Pada tahun 1943, Raden Mas Sayid menyempurnakan bentuk wayang kancil dan dipentaskan dengan menggunakan kelir (layar berupa kain putih) untuk menangkap bayangan wayang. Pada tahun 1980, wayang kancil mulai berkembang di Yogyakarta terutama oleh Ki Ledjar Subroto yang berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah. Ia membuat pembaharuan bentuk agar dapat dinikmati sebaik mungkin. Kiprah Ki Ledjar juga di dukung oleh budayawan sekaligus wartawan bernama R.P.A Suryanto Sastroatmodjo yang memberikan saran dan masukan pada latar budaya cerita kancil di masa lalu. Pada saat itu, terjadi degradasi peran kesenian tradisional yang mulai ditinggalkan oleh anak-anak. Kehadiran wayang kancil membuat anak-anak mulai kembali menggemari kesenian tradisional. Hal ini juga dimanfaatkan sebagai media pendidikan.
Cerita kancil yang dalam wayang kancil mengikuti zamannya. Wayang kancil memiliki figur-figur tokoh binatang berupa binatang buruan, binatang merangkak, binatang merayap, binatang yang terbang yang termasuk dalam dongeng Kancil dan beberapa manusia seperti Pak tani dan Bu Tani. Kancil dijadikan sumber lakon. Dalam cerita kancil mencuri ketimun, Ki Ledjar Subroto memberikan tafsir bukan mencuri atau menipu. Kancil mencuri karena hutan dirusak oleh masyarakat. Kancil terpaksa mencuri karena untuk mempertahankan hidupnya.Masyarakat dilarang membunuh kancil. Tafsir Ki Ledjer Subroto terhadap kisah kancil mencuri. timun memberikan perspektif yang menonjolkan nilai-nilai kebaikan yang bersifat edukatif. Wayang Kancil membuka peluang bagi anak-anak untuk menjadi dalang cilik.[2]
Pertunjukan wayang kancil dihiasi oleh perkeliran seperti perlengkapan wayang kulit purwa. Seperangkat gamelan lengkap (slendro atau pelog), gedebog, seperangkat wayang, kepyak, cempala, dan platukan, kelir dan lampu kelir listrik saat pertunjukan di malam hari. Selain gamelan lagu –lagu seperti gajah belang, Buta Galak, dan Sur-sur kulonan yang dipadukan dengan gamelan jawa menciptakan hubungan yang menarik antara dalang dan penonton. Bahasa yang digunakan dalang tergantung pada di mana pementasan itu digelar dan siapa pemirsanya. Jika pemirsanya adalah anak-anak dalang biasa menggunakan bahasa Jawa Ngoko secara utuh dan terkadang disisipi Krama Madya dan Krama Inggil saat adegan manusia.
Jumlah wayang hanya 100 buah. Dalang yang mampu menjalankan wayang hanya dua orang:
- Ki Lagutama dari Kampung Badran Mangkubumen. Sala
- Ki Sutapradangga dari kampung Sangkrah. Sala.
Di Yogyakarta, wayang kancil kembali popular pada tahun 1980, tatkala seorang dalang bernama Ki Ledjar Soebroto yang berasal dari Wonosobo, Jawa tengah mencetuskan kembali pertunjukan Wayang Kancil dan selalu
Referensi
[sunting | sunting sumber]